TW-07


kembali | lanjut

TW-07TEMUNGGUL pun kemudian mempercepat langkahnya. Bahkan kemudian ia meloncat memotong jalan, lewat beberapa kebun yang kosong, memintas jalan-jalan sempit untuk mendahului Bramanti yang berjalan seenaknya disepanjang jalan padukuhan. Meskipun kadang-kadang kakinya menginjak duri gadung dan bahkan menyentuh kemarung, namun Temunggul sama sekali tidak menghiraukannya lagi.

Ketika ia meloncati pagar batu terakhir, dan muncul di jalan yang membujur dipinggir padukuhan, ia pun menarik nafas dalam-dalam. Ia belum melihat Bramanti dipojok desa.

“Mudah-mudahan aku mendahuluinya,” desisnya.

Ternyata bahwa baru sejenak kemudian ia melihat Bramanti melangkah satu-satu ke arahnya.

“Hem,” Temunggul berdesis ketika Bramanti telah menjadi semakin dekat, “Kau seolah-olah sedang melihat-lihat daerah yang belum pernah kau kunjungi?”

Bramanti mengerutkan keningnya. Kemudian ia pun tersenyum. Jawabnya, “Udara menjelang fajar terasa nyaman sekali.”

“Dingin sekali,” jawab Temunggul yang masih basah oleh keringat.

Bramanti tidak segera menyahut. Tetapi ketika ia menepuk pundak Temunggul terasa baju anak muda itu basah. “Apakah kau terjerumus ke dalam parit?” ia bertanya.

Temunggul pun tersenyum pula.

“Kalau malam ini terlampau dingin bagimu, maka kau pasti tidak akan berpeluh sampai seluruh pakaianmu menjadi basah.”

Temunggul tidak segera menjawab. Pakaiannya telah menjadi basah sejak ia tersiksa dibawah pohon ketapang. Tetapi sudah barang tentu bahwa ia tidak dapat mengatakannya.

“Kau benar-benar sehat Temunggul. Di malam begini kau dapat juga berkeringat demikian banyaknya.”

“Keringat dingin,” jawabnya.

“Kenapa?”

“Aku menjadi sangat gelisah. Aku tidak menemukan Ki Tambi, kemudian aku kau siksa di pojok desa ini.”

“Maaf,” sahut Bramanti, “Aku telah bertemu dengan paman Tambi. Aku berbicara beberapa saat, sehingga karena itu aku agak terlambat datang.”

“Tidak ada batas waktu.”

“Tetapi,” tiba-tiba Bramanti mengerutkan keningnya. “Kalau kau sudah lama ditempat ini, kau pasti bertemu dengan paman Tambi.”

“Belum, belum terlalu lama. Aku berjalan menyusuri pematang. Dan, aku singgah juga melihat sawahku sejenak.”

Bramanti mengangguk-anggukkan kepalanya, katanya, “Kalau aku segera menyusulmu, maka akulah yang akan kau siksa disini.”

Keduanya tertawa. Sementara bayangan yang kemerah-merahan telah menyapu langit.

“Fajar,” desis Temunggul. “Ini berarti bahwa semalam suntuk aku tidak tidur.”

“Aku juga,” sahut Bramanti.

“Akibat kelambatan paman Tambi,” desis Temunggul sambil tertawa. Dan Bramanti pun kemudian tertawa pula.

Ketika kedua anak muda melangkah kembali ke Kademangan, maka Ki Tambi duduk terkantuk-kantuk di pojok gardu. Ki Jagabaya telah pulang dahulu, karena besok ia masih mempunyai banyak pekerjaan. Namun setiap kali terasa nada Tambi berdesir, apabila teringat olehnya pesan Panggiring yang harus disampaikan kepada Bramanti dan ibunya.

“Bagaimana aku akan memulainya,” katanya di dalam hati. “Bagaimana? Bramanti tampaknya tidak begitu senang kepada kakaknya. Apalagi setlah ia mendengar bahwa Panggiring pernah menjadi seorang penjahat yang sejahat-jahatnya. Aku tidak menyangka, bahwa begitu cepatnya Panggiring berhasrat untuk kembali ke kampung halaman.”

Sambil menguap Ki Tambi menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Kepalaku menjadi pusing karenanya. Tetapi aku berhasrat untuk mencari jalan.”

Namun Ki Tambi tidak segera dapat mengatakannya kepada Bramanti. Ketika Bramanti dan Temunggul datang, ia sama sekali tidak mengatakan apapun tentang seseorang yang telah menemuinya ditengah-tengah sawah.

Tetapi Ki Tambi menjadi berdebar-debar ketika ia mendengar seseorang dengan nafas yang bekejaran berkata, “Aku baru pulang dari sawah.”

“Kenapa?” bertanya Temunggul.

“Aku bersama dua orang kawan sedang berada di dalam gubug ditengah sawah menunggi tanaman yang sedang berbuah. Tiba-tiba aku melihat seseorang berjalan ke arah Barat. Langkahnya belum pernah aku kenal. Dan rasa-rasanya memang bukan orang Kademangan ini. Kami menyangka bahwa orang itu bermaksud jahat, karena ketika kami menyapanya, ia sama sekali tidak berhenti.”

“Lalu apakah yang kalian lakukan?”

“Kami bertiga mengepungnya. Tetapi orang itu hilang seperti hantu. Kami sama sekali tidak menemukannya, meskipun menurut dugaan kami orang itu masih belum meninggalkan tempatnya. Kami menyangka, bahwa ia hanya sekadar bersembunyi disela-sela tanaman. Tetapi setelah kami cari beberapa lama, kami tetap tidak menemukannya.”

Kening Bramanti menjadi berkerut merut. Dengan nada yang berat ia bertanya, “Kau tidak melihat wajahnya?”

Orang itu menggeleng, “Tidak. Kami tidak sempat.”

“Pakaiannya,” menyela Ki Tambi.

“Kami juga tidak dapat melihat dengan jelas. Yang tampak kepada kami hanyalah bayangan yang kehitam-hitaman.”

“Tinggi atau pedek, gemuk?”

“Tinggi, besar.”  Terasa sesuatu melonjak di dalam dada Ki Tambi. Orang itu pasti sudah melihat Panggiring. Untunglah bahwa di dalam gelapnya malam orang-orang itu tidak segera dapat mengenalnya.

“Kenapa orang seperti Panggiring masih juga terjebak dalam pengamatan seseorang tanpa dapat menghindarinya, sehingga ia terpaksa bersembunyi setelah dikejar-kejar?” bertanya Ki Tambi di dalam hatinya. “Mungkin Panggiring memang sudah tidak berniat berbuat apapun sehingga ia menjadi lengah terhadap hal-hal serupa itu, atau bahkan dengan sengaja ia mulai menampakkan dirinya.”

Temunggul pun kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia berdesis, “Apakah ada kemungkinan bahwa orang itu adalah salah seorang kepercayaan Panembahan Sekar Jagat, atau bahkan Sekar Jagat sendiri?”

Bramanti menggeleng, “Aku tidak tahu.”  Dada Ki Tambi menjadi semakin berdebar-debar ketika Bramanti bertanya kepadanya, “Apakah paman tidak melihat seorang pun di sawah?”

Ki Tambi ragu-ragu sejenak, tetapi kemudian ia menggelengkan kepalanya, “Tidak. Aku tidak melihat seorang pun.”

Bramanti mengerutkan keningnya, kemudian katanya, “Mungkin salah seorang dari kita. Tetapi karena malam yang gelap, kalian tidak segera dapat mengenalnya. Atau mungkin seseorang dari padukuhan tetangga yang oleh suatu keperluan terpaksa berjalan di malam hari.”

“Tetapi mereka tidak akan melalui jalan-jalan yang sulit atau bahkan lewat pematang.”

“Mungkin orang itu tergesa-gesa sehingga ia memilih jalan memintas.”

“Tetapi ia tidak berhenti ketika kami menyapanya.”

“Kalau begitu hampir pasti, ia sedang tergesa-gesa.”

Orang itu tidak menyahut. Meskipun ia tidak sependapat dengan Bramanti.

“Jangan cemas. Tidak ada apa-apa,” berkata Bramanti kemudian, “Kalau ia orang jahat, ia tidak akan lari atau bersembunyi. Kalian pasti sudah diganggunya. Tetapi ternyata orang itu tidak berbuat demikian.”

Orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Memang ia sama sekali tidak diganggu. Orang itu hanya bersembunyi demikian baiknya sehingga seolah-olah telah menghilang begitu saja dibawa angin malam yang dingin.

Tetapi kalau orang itu orang baik-baik, kenapa ia harus bersembunyi?

Namun demikian orang itu masih saja berdiam diri sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia berusaha untuk mengerti dan menahan pertanyaan-pertanyaan di dalam hati.

“Pulanglah,” berkata Bramanti. “Tidak ada apa-apa yang dapat mencemaskan kita semua.”

Sekali lagi orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun demikian, ketika ia keluar dari halaman Kademangan, hatinya masih tetap berdebar-debar. Ia tidak dapat menahan dirinya untuk diam. Karena itu, maka bersamaan dengan terbitnya matahari, ceritera orang itu telah tersebar dari segala mulut ke segala telinga orang-orang padukuhan itu.

“Apakah Panembahan Sekar Jagat sudah akan mulai?” bertanya seseorang.

Yang lain hanya menggelengkan kepalanya. “Entahlah. Tetapi kita sekarang sudah punya Putut Sabuk Tampar. Kita sudah tidak takut lagi kepada Panembahan Sekar Jagat.”

“Tetapi bagaimana kalau Panembahan Sekar Jagat datang bersama orang-orangnya yang buas dan liar?”

“Anak-anak muda kita sudah tidak tidur lagi. Setiap hari mereka mendapat petunjuk dan latihan dari Ki Tambi dan bahkan dari Bramanti sendiri. Pada saatnya kita pasti sudah siap untuk melawan. Bahkan kami, laki-laki yang sudah melampaui masa-masa muda kami pun akan mendapat kesempatan untuk memperdalam ilmu bela diri. Setiap saat diperlukan, kami dapat membantu, menurut kekuatan dan kemampuan kami.”

Kawannya berbicara mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia tidak dapat melepaskan diri dari kecemasan yang mencekam jantungnya.

Di halaman Kademangan anak-anak muda yang bertugas malam, satu-satu telah meninggalkan halaman. Ada di antara mereka yang sama sekali tidak dapat tidur sekejap pun. Tetapi ada pula yang sama sekali tidak berhasil membuka matanya. Sejak ia berbaring di pendapa, langsung ia tidur nyenyak sampai ayam jantan berkokok di pagi hari.

Namun Ki Tambi, Bramanti dan Temunggul masih juga duduk di tangga pendapa. Mereka lagi asyik membicarakan orang yang dilihat oleh tiga orang yang sedang berada di dalam gubug di tengah-tengah sawah menunggui tanamannya.

“Berita itu tidak boleh mencemaskan rakyat Kademangan ini,” berkata Bramanti. “Meskipun kita tidak dapat tinggal diam, tetapi apa yang kita lakukan jangan langsung dapat dilihat orang, supaya mereka tidak menjadi ketakutan dan kehilangan ketentraman.”

Ki Tambi dan Temunggul mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kita harus membentuk sekelompok kecil di antara mereka yang dapat dipercaya. Mereka akan menjadi pengawas khusus di malam hari. Mereka akan berada di sawah-sawah dan pategalan.”

“Tetapi mereka harus diperlengkapi dengan alat-alat yang dapat mereka pakai untuk mengirim tanda-tanda,” berkata Temunggul kemudian, “Apabila benar orang itu salah seorang dari Panembahan Sekar Jagat, atau bahkan Sekar Jagat sendiri, maka anak-anak itu tidak akan berarti apa-apa baginya.”

“Tentu,” sahut Bramanti, “Mereka harus membawa alat-alat serupa itu.”

Mereka pun kemudian bersepakat untuk melakukan pengawasan langsung ditempat-tempat terbuka. Karena menurut tangkapan mereka, agaknya orang yang menyampaikan kabar itu bukanlah orang yang ingin membuat-membuat persoalan saja.

“Nah,” berkata Bramanti, “Aku sekarang akan pulang dulu.”

“Aku juga,” sahut Ki Tambi.

“Baiklah,” berkata Temunggul, “Aku akan tinggal disini sebentar, sambil menunggu anak-anak yang harus berada disini di siang hari.”

Bramanti pun kemudian meninggalkan Kademangan itu bersama Ki Tambi. Namun mereka itu pun kemudian berpisah menurut jalan ke rumah masing-masing.

Sementara itu Temunggul masih duduk di tangga Kademangan. Sambil bersungguh-sungguh ia menunggu anak-anak muda yang seharusnya berjaga-jaga di siang hari. Tetapi seperti biasanya, mereka tidak dapat datang tepat pada waktunya, tidak seperti apabila mereka bertugas di malam hari.

Temunggul terkejut ketika ia mendengar pintu pringgitan bergerit. Dengan serta merta ia memalingkan wajahnya. Dan dilihatnya sebuah kepala tersembul di antara pintu yang belum terbuka sepenuhnya itu.

“O, Ki Demang,” desis Temunggul.

“Dengan siapa kau tinggal Temunggul,” bertanya Ki Demang.

“Sendiri.”

Ki Demang seolah-olah tidak percaya kepada jawaban itu. Dengan nanar diedarkannya tatapan matanya berkeliling. Namun ia memang tidak melihat seorang pun dihalaman itu selain Temunggul.

Perlahan-lahan Ki Demang melangkah keluar pringgitan. Dengan hati-hati ia berjalan mendekati Temunggul. Meskipun rumah itu adalah rumahnya, tetapi nampaknya Ki Demang seperti orang asing.

“Duduk sajalah,” berkata Ki Demang ketika ia melihat Temunggul berdiri, “Aku pun akan duduk disitu pula.”

Temunggul pun duduk kembali. Di sampingnya Ki Demang meletakkan dirinya sambil berdesah, “Apa kabar Temunggul?”

Temunggul menggelengkan kepalanya, “Aku belum mendapat kesempatan Ki Demang.”

“Kau tidak berusaha.”

“Aku sudah berusaha. Bahkan aku kini membawa pisau dibawah bajuku. Kalau aku mempergunakan pedangku, sebelum aku sempat mencabutnya, leherku pasti sudah disobek oleh pedang pendek itu. Tetapi pisau ini pasti tidak akan diduganya sama sekali. Sehingga dari jarak yang tidak lebih dari sejengkal, apabila kami berjalan bersama-sama, aku dapat tiba-tiba saja menyerangnya.”

Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Ya, ya. Tetapi jangan terlampau lama. Kalau Panembahan Sekar Jagat kehilangan kesabaran, maka ia pasti akan segera bertindak.”

Dada Temunggul berdesir mendengar kata-kata Ki Demang itu. Sekilas terbayang sebuah bayangan hitam yang tinggi dan besar berjalan di pematang seperti yang dikatakan oleh orang yang melihatnya.

“Apakah bayangan itu benar-benar Panembahan Sekar Jagat?” ia bertanya di dalam dirinya.

“Temunggul,” berkata Ki Demang, “Harus ada seorang yang bersedia berkorban untuk kepentingan Kademangan ini, tanpa mementingkan diri sendiri. Persahabatan dan kawan baik yang bagaimanapun juga, harus dilupakan. Mungkin kau ragu-ragu karena kau merasa berhutang budi kepada Bramanti. Bramanti memang anak yang baik. Ia tidak membalas sakit hatinya kepadamu, meskipun ia pernah kau perlakukan dengan kasar. Tetapi Bramanti terlampau bodoh. Kebodohannya itulah yang berbahaya bagi Kademangan ini. Kebodohan dan kesombongan-nya itulah yang harus disingkirkan.”

Temunggul tidak menyahut.

“Menurut penilaianku, kau adalah seseorang yang lebih baik. Yang mementingkan Kademangan ini di atas segala-galanya. Selain kau juga akan menemukan kembali gadismu yang kini agaknya semakin dekat dengan Bramanti.”

Temunggul menarik nafas dalam-dalam. Sepercik keragu-raguan telah merambat lagi dihatinya. Setiap kali terbayang olehnya Ratri, maka setiap kali dadanya berdesir.

Tetapi Temunggul itu pun kemudian mengatupkan giginya rapat-rapat, “Aku tidak boleh hanyut oleh kata-katanya,” katanya dalam hati. “Aku harus yakin, bahwa Ki Demang mempunyai maksud-maksud tertentu. Aku hanya sekadar menjadi alatnya. Apabila sudah tidak diperlukannya lagi, biasanya alat-alat itu akan disingkirkannya pula. Demikian juga dengan aku nanti.”

Temunggul berhenti berangan-angan ketika ia mendengar Ki Demang berkata, “Apakah kau dapat mengerti Temunggul?”

Temunggul mengangguk-anggukkan kepalanya, “Ya Ki Demang.”

“Nah, karena itu, jangan menunda-nunda terlampau lama. Lakukanlah pada kesempatan yang pertama.”

“Ya Ki Demang. Tetapi untuk mendapatkan kesempatan itu aku agaknya menemui kesulitan.”

“Ah,” Ki Demang berdesah, “Meskipun kau tidak dapat disejajarkan dengan Bramanti apabila kau harus melawannya beradu dada, namun kau bukan seseorang yang tidak berilmu sama sekali Temunggul. Ingat, kau adalah pemimpin pengawal Kademangan ini. Itu harus kau sadari.”

Temunggul mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Nasib Kademangan ini memang sebagian tergantung di tanganmu Temunggul.”

Temunggul masih mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Nah, itu kawan-kawanmu datang,” desis Ki Demang. Temunggul mengangkat kepalanya. Dilihatnya dua orang anak-anak muda memasuki regol Kademangan.

“Aku akan masuk,” berkata Ki Demang.

“Kenapa? Kenapa Ki Demang akhir-akhir ini tampaknya agak berubah?” bertanya Temunggul tiba-tiba.

“Tentu,” jawab Ki Demang. “Orang-orang Kademangan ini sudah tidak mendengarkan kata-kataku lagi. Sedang aku selama ini selalu prihatin, bagaimana mungkin aku dapat menye-lamatkan Kademangan ini dari kehancuran mutlak.”

Temunggul tidak menyahut.

“Pikirkanlah Temunggul. Ingat, jangan menunda waktu sampai terlambat. Tidak akan ada gunanya lagi. Kau dengar? Dan kau pun pasti sudah kehilangan gadis itu.”

“Ya Ki Demang.”  Ki Demang menepuk bahu Temunggul sambil berdiri, “Kaulah satu-satunya orang yang aku harapkan kelak.”

Temunggul tidak menjawab. Dipandangiya langkah Ki Demang satu-satu melintas ke pendapa. Kemudian hilang dibalik pintu.

“Aku tidak tahu maksudnya,” desisnya, “Apakah Ki Demang takut bahwa pada suatu saat Bramanti akan mendesak kedudukannya?” Temunggul mengerutkan keningnya. “O, tentu. Ayah Bramanti adalah Demang Candi Sari. Karena itu, maka ia berhak atas jabatan itu.” Temunggul menarik nafas dalam-dalam. “Mungkin inilah sebabnya.”

Tetapi ketika ia berdiri, teringatlah olehnya sesuatu sehingga ia menggelengkan kepalanya, “O, bukan. Bukan ayah Bramanti. Tetapi ayah Panggiring. Ayah Panggiring lah yang pernah menjadi Demang di Candisari.”

Akhirnya Temunggul menuruni tangga pendapa itu sambil berdesah di dalam hatinya, “Aku harus mengerti latar belakang dari tindakan Ki Demang. Seharusnya ia memanfaatkan keunggulan Bramanti untuk kepentingan Kademangan ini. Bukan sebaliknya.”

Temunggul pun kemudian melangkah ke regol halaman. Kedua anak-anak muda yang baru datang itu pun sudah duduk di dalam gardu.

“Kalian baru datang?” bertanya Temunggul.

“Ya,” jawab salah seorang dari mereka.

“Semalam suntuk aku disini tanpa tidur sekejap pun. Aku menunggu kalian.”

Keduanya tersenyum. Salah seorang daripadanya menjawab, “Aku terlambat bangun. Aku pun hampir semalam tidak tidur.”

“Kenapa?”

“Kakak perempuanku melahirkan semalam.”

“O,” Temunggul mengangguk-anggukkan kepalanya,” baik-baik semuanya.”

“Ya, semuanya selamat.” “Syukurlah. Sekarang aku akan pulang. Mandi dan tidur.”

“Baiklah,” jawab yang lain. “Tetapi begitu kau pulang, aku pasti akan sendiri sebelum kawan-kawan yang lain datang. Anak ini sebentar lagi akan segera mendekur.”

Temunggul tersenyum, katanya, “Sebentar lagi mereka akan datang. Mungkin juga Ki Jagabaya.”

Temunggul pun kemudian meninggalkan halaman Kademangan itu, langsung pulang ke rumahnya.

Sementara itu, di rumahnya Ki Tambi berbaring di amben bambu. Tetapi meskipun semalam suntuk ia tidak dapat tidur, namun sama sekali matanya tidak mau terpejam. Yang selalu terlintas di dalam kepalanya adalah pertemuannya dengan Panggiring. Pesan orang itu yang harus disampaikannya kepada keluarganya.

“Aku harus mendapat kesempatan sebaik-baiknya,” desisnya, namun kemudian, “Tetapi aku tidak dapat menunggu terlalu lama. Apabila pada suatu ketika seseorang dapat mengenali wajah Panggiring, dan bahkan terjadi salah paham, maka semuanya akan menjadi semakin kisruh.”

Ki Tambi menarik nafas dalam-dalam. Tanpa sesadarnya ia meraba kantong ikat pinggang kulitnya. Diambilnya sebuah lencana bergambar sebuah candi. Lencana Panggiring yang mengerikan di pesisir Utara. Tetapi beberapa saat yang lampau. Ternyata Panggiring sudah lenyap dari dunianya. Diketahui atau tidak diketahui oleh orang-orangnya. Namun pada suatu saat mereka akan segera menyadari, bahwa Panggiring sudah tidak ada lagi di antara mereka.

“Pada suatu saat salah seorang dari anak buahnya pasti akan mencarinya kemari,” berkata orang tua itu di dalam hatinya. “Sebab ada di antara mereka yang mengetahui, bahwa Panggiring berasal dari Kademangan ini.”

“Semuanya harus segera aku lakukan,” desis Ki Tambi.

Tiba-tiba Ki Tambi itu pun bangkit dari pembaringannya. Dengan tergesa-gesa ia pergi ke sumur mencuci mukanya. Setelah membenahi pakaiannya, maka ia pun segera melangkah keluar rumahnya sambil menyambar senjatanya.

“Sebaiknya aku menemui Nyai Pruwita dahulu. Aku harus memberitahukan kepadanya, bahwa anaknya telah berada di daerah ini meskipun belum bersedia menampakkan dirinya karena berbagai pertimbangan.”

Ki Tambi pun kemudian melangkahkan kakinya disepanjang jalan padukuhan dengan kepala tunduk. Ia masih mereka-reka kalimat yang akan diucapkannya dihadapan ibu Panggiring nanti.

“Bagaimana kalau Bramanti ada dirumah pula?,” ia bertanya kepada dirinya sendiri, “Terpaksa tertunda lagi. Tetapi aku harus mendapatkan kesempatan itu.”

Ketika ia sampai di regol rumah Bramanti, ia menjadi ragu-ragu sejenak. Tetapi akhirnya ia melompati tlundak pintu regol yang sudah terbuka.

“Anak itu tidak ada dibawah pohon sawo. Mungkin ia lelah dan kantuk,” desis Ki Tambi yang pergi perlahan-lahan melintasi halaman menuju ke kandang.

Perlahan-lahan Ki Tambi mendekati pintu. Tetapi pintu itu tertutup rapat.

“Anak itu tidak ada di dalam,” katanya di dalam hati, “Aku sama sekali tidak mendengar desah nafasnya.”

Karena itu Ki Tambi tidak membuka pintu itu. Adalah kebetulan sekali kalau Bramanti tidak berada di rumahnya. Ia akan dapat berbicara leluasa dengan ibunya.

Ki Tambi pun kemudian meninggalkan kandang yang kosong itu, langsung naik ke pendapa. Diketuknya pintu pringgitan beberapa kali.

Tetapi Ki Tambi menjadi kecewa. Yang didengarnya suara Bramanti menyapa, “Siapa?”

Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia harus menjawab, “Aku Bramanti. Tambi.”

“O,” dengan tergesa-gesa Bramanti melangkah langsung membuka pintu, “Paman sudah sampai kemari? Apakah paman tidak beristirahat?”

“Masih terlampau pagi untuk tidur,” jawab Tambi sekenanya saja.

“Apakah ada sesuatu yang penting untuk segera dibicarakan?”

“O, tidak. Tidak. Sudah lama aku tidak singgah kemari.”

Bramanti mengerutkan keningnya, namun ia menjawab, “Ya, sejak kemarin.”

“O,” tambi mengerutkan keningnya pula. Kemudian ia tertawa pendek, “Ya, kemarin aku datang kemari. Tetapi maksudku sudah agak lama aku tidak bertemu dengan ibumu.”

“Ibu berada di dapur paman,” sahut Bramanti. “Apakah aku harus memanggilnya.”

“Jangan, biarkan aku pergi ke dapur,” jawab Tambi, “Tetapi kau tidak mempunyai keperluan yang lain?”

“Aku sedang mengumpulkan pakaianku yang kotor paman. Aku akan pergi ke bendungan, mencuci.”

“Ah,” desah Tambi, “Setiap hari kau mencuci. Pakaian yang itu-itu juga yang kau cuci. Bramanti, kalau begitu caramu memelihara pakaian, maka pakaianmu akan lekas rusak. Padahal belum tentu kau dapat membelinya lagi.”

“Tidak setiap hari paman,” jawab Bramanti.

“Setiap hari,” potong Tambi, “Kalau tidak ada pakaianmu yang kotor, maka pakaianmu yang bersih pula yang kau cuci. Jangan kau sangka aku tidak tahu bahwa kau hanya sekadar ingin pergi ke bendungan.”

“Ah, paman selalu mengganggu.”

“Aku pernah semuda kau Bramanti.”

“Itulah ibu,” berkata Bramanti tiba-tiba ketika ia melihat ibunya muncul dari pintu samping. Lalu katanya, ”Bu, paman Tambi.”

“O, marilah. Marilah, silakan duduk.”

“Terima kasih,” jawab Tambi. Kemudian kepada Bramanti ia berkata, “Kalau kau akan pergi ke bendungan. Pergilah. Kau akan kesiangan nanti, dan anak itu sudah terlanjur pulang.”

“Ah, aku tidak memerlukan siapapun paman,” sahut Bramanti. “Adalah kebetulan sekali kalau bendungan itu telah sepi.”

Ki Tambi tidak menjawab. Tetapi ia tertawa berkepanjangan.
Bramanti pun kemudian pergi ke Bendungan. Ditinggalkannya Ki Tambi bersama ibunya, duduk di pringgitan.

“Lama kita tidak saling berbincang tentang apa saja,” berkata Ki Tambi.

“Aku sudah terlampau biasa hidup seorang diri,” desis Nyi Pruwita. “Karena itu, aku sama sekali sudah tidak mengenal kesepian lagi.”

“Tetapi sekarang semua itu akan segera berubah.”

“Kenapa?”

“Ternyata Bramanti berhasil menumbuhkan kepercayaan rakyat Candisari kepada keluarga ini.”

Nyai Pruwita mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya. Aku memang merasakan, lambat laun sikap orang-orang di sekitar rumah ini telah berubah.”

“Bersyukurlah karena Nyai mempunyai anak seperti Bramanti. Ia adalah anak muda yang mengagumkan. Bahkan hampir-hampir sempurna. Ia adalah seorang yang luar biasa. Mumpuni dalam olah kanuragan. Namun kelebihan yang lain, anak itu rendah hati.”

Ibu Bramanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Terasa kebanggaan di dalam dadanya mengembang. Jawabnya, “Mudah-mudahan keluarga kami tidak semakin tenggelam.”

“Tentu tidak. Aku pasti. Kademangan ini pada suatu saat pasti menggantungkan diri kepada perlindungannya. Kini pengaruh-nya menjadi semakin dalam, meskipun Bramanti sendiri sama sekali tidak berhasrat mendesak kedudukan siapapun.”

“Tentu. Bramanti tidak ingin kedudukan apapun. Aku selalu berpesan kepadanya, jangan mengecewakan apa lagi merugikan orang lain. Seseorang dapat saja mendorong dirinya sendiri untuk maju di dalam segala bidang, tetapi ia jangan mengorbankan orang lain untuk kepentingan itu.”

Ki Tambi mengangguk-anggukkan kepalanya. “Dan Bramanti selalu mematuhi pesan-pesan itu,” Ki Tambi berhenti sejenak, lalu, “Kini Bramanti sedang memilih beberapa anak-anak muda yang terbaik, termasuk Temunggul, untuk diajarnya memimpin para pengawal, membela diri mereka sendiri dan Kademangan ini. Setiap kali mereka berada di Kademangan, maka meskipun hanya sebentar, mereka memerlukan waktu. Di halaman belakang yang terpisah, mereka berlatih sebaik-baiknya.”

Perempuan itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kembali kenangan lamanya membayang dipelupuk matanya. Di halaman rumah ini pun dahulu anak-anak muda selalu berkumpul. Melatih diri dan olah kanuragan. Bukan itu saja. Pendapa ini pun selalu dipakai oleh beberapa gadis dan anak-anak muda yang berlatih menari.

Tetapi ibu Bramanti tidak merindukan masa-masa itu lagi. Sudah dikatakannya, bahwa Bramanti tidak sebaiknya berusaha mendesak kedudukan orang lain. Ia dapat berbuat baik tanpa kedudukan apapun. Dan namanya dapat dikenal oleh setiap orang Candisari tanpa menjadi bebahu Kademangan yang manapun.

Sementara itu Ki Tambi masih saja mengangguk-angguk meskipun kepalanya kini tertunduk. Hatinya serasa menjadi semakin berdebar-debar. Ia sedang mencari kesempatan untuk mengatakan pesan Panggiring kepada perempuan itu.

“Ki Tambi,” berkata Nyai Pruwita kemudian, “Aku juga menitipkan anak itu kepadamu. Bukankah kau sering berada bersamanya di Kademangan? Ia harus tetap menjadi anak yang baik apapun yang pernah dilakukannya.”

“Tentu, tentu,” Ki Tambi tergagap. Namun kemudian ia tertunduk lagi sambil mengangguk-angguk.

Tetapi Ki Tambi merasa bahwa ia tidak akan dapat berbuat serupa itu untuk seterusnya. Ia harus mengatakannya. Lambat atau cepat.

“Nyai,” akhirnya dipaksanya juga mulutnya berbicara, “Ternyata Bramanti telah membuat hati setiap orang berbangga. Bukan saja ibunya, aku dan kawan-kawannya.”

Nyai Pruwita mengerutkan keningnya. Ia merasakan nada suara Ki Tambi agak berubah. Tetapi perempuan tua itu tidak segera menyahut.

“Keluarga ini lambat laun telah menjadi pusat perhatian rakyat Candisari, seperti beberapa puluh tahun yang lampau.”

Ibu Bramanti masih tetap diam.

“Bukankah Nyai mengharapkan demikian? Kesempurnaan yang bulat bagi pulihnya kembali keluarga ini?”

“Ah, itu tidak mungkin Ki Tambi,” sahut perempuan itu, “Yang lampau biarlah lampau. Aku bersyukur dan berterima kasih, bahwa aku kini sudah tidak berpisah lagi dari tetangga di sekitarku. Itu sudah cukup untuk saat ini.”

Ki Tambi menarik nafas dalam-dalam. Memang sulit untuk memulainya. Bahkan agaknya ia sudah hampir tersesat jalan pada langkahnya yang pertama.

“Bukan begitu Nyai,” jawab Ki Tambi. “Sudah tentu keluarga yang bulat, yang masih mungkin dapat dicapai. Yang sudah tidak ada sudah tentu tidak akan dapat kembali. Tetapi yang masih ada itulah yang dirindukannya.”

“Maksudmu?”

“Seandainya, seandainya Nyai, keluarga ini berkumpul kembali, bukankah kebanggaan Nyai akan menjadi sempurna?”

“Maksudmu apabila Panggiring ada di rumah ini pula?”

“Misalnya Nyai.”

Perempuan tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kepala itu tertunduk. Dengan nada yang dalam ia bertanya, “Kenapa tiba-tiba saja kau bertanya tentang Panggiring?”

Dada Ki Tambi berdesir mendengar pertanyaan itu. Sejenak ia terdiam, dipandanginya wajah perempuan tua yang berkerut-merut itu. Kemudian dengan hati-hati ia menganggukkan kepalanya sambil menjawab, “Ya, begitulah. Tiba-tiba saja aku membayangkan, alangkah senangnya rakyat Kademangan Candisari apabila keduanya ada disini. Keduanya bersama-sama melindungi rakyat yang masih dalam ketakutan ini.”

Wajah perempuan tua itu menjadi semakin berkerut-merut. Secercah kekecewaan mengambang disorot matanya. Sambil menggeleng lemah ia berkata, “Jangan membicarakan anak-anakku. Tetapi aku tidak dapat melepaskan diri dari kenyataan.”

“Kenyataan yang mana Nyai?”

“Panggiring agaknya menjadi semakin jauh dari keluarga kecil ini. Bahkan dari Kademangan Candisari.”

“Tidak Nyai, Nyai keliru. Panggiring tidak pernah menjauhkan dirinya dari Kademangan ini. Pada saat Kademangan ini dilanda oleh ketakutan, ia sudah berusaha mengirimkan orang untuk menemui Panembahan Sekar Jagat. Ia minta agar Panembahan Sekar Jagat menghentikan perbuatannya, meskipun usaha itu sampai pada saat ini belum berhasil. Tetapi usaha itu baik juga dilakukan, berbareng dengan usaha Bramanti yang lebih nyata di Kademangan ini sendiri,” Ki Tambi berhenti sejenak, kemudian, “Bahkan untuk lebih dekat dari kampung halamannya, ia telah membuat lencana-lencana bergambar candi. Maksudnya sudah jelas, bahwa ia harus selalu ingat tanah yang ditinggalkannya.”

Perempuan tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Ya. Mungkin ia bebuat begitu. Tetapi di samping itu, perbuatan-perbuatannya telah menumbuhkan jurang yang dalam di antara rakyat Candisari dan Panggiring. Itulah bujur lintangnya keluarga kecil ini Ki Tambi. Di satu pihak Bramanti berusaha dengan susah payah, mendekatkan diri kepada rakyat Candisari, di lain pihak Panggiring telah melakukan perbuatan-perbuatan tercela. Dan jurang itu pun agaknya telah menganga pula di antara kami sendiri. Di antara Bramanti dan Panggiring.”

Ki Tambi menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat kesulitan yang memang bakal datang.

“Tetapi jalan hidup seseorang kadang-kadang dapat berubah. Aku pernah melihat perubahan-perubahan yang terjadi, bahkan dengan tiba-tiba dan tidak terduga-duga. Panggiring pada dasarnya bukan orang jahat. Garis keturunannya bukan pula orang jahat.”

“Jangan membicarakan keturunan. Jika demikian kau akan menghukum orang-orang yang tidak bersalah hanya karena keturunan.”

“Ya, ya. Aku keliru. Maksudku, bagaimana kalau pada suatu saat Panggiring datang dengan hati yang sudah berubah?”

“Jangan kita pikirkan sekarang, Ki Tambi. Kalau pada suatu saat Panggiring datang dengan wajah dan hatinya yang baru, kita akan menyesuaikan dengan keadaan pada saat itu. Kita akan melihat perkembangan keadaan Bramanti, dan mungkin dengan hati-hati kita dapat menempatkan persoalannya pada tempat yang sewajarnya.”

Ki Tambi mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan tiba-tiba saja ia bertanya, “Tetapi apakah pada suatu saat Nyai tidak pernah merindukannya.”

Dengan serta-merta Nyai Pruwita mengangkat wajahnya. Sorot matanya serasa langsung menusuk ke jantung Ki Tambi. Terdengar suara perempuan itu gemetar, “Ki Tambi. Sebaiknya kau tidak menanyakan hal itu. Kau bukan seorang perempuan. Karena itu kau tidak merasakan betapa pahit perasaan seorang ibu menghadapi keadaan seperti keadaanku. Tidak ada seorang ibu yang wajar, tidak merindukan anak-anaknya, betapapun juga sifat, keadaan dan kelakuan anak itu. Bahkan seandainya anak itu akan membunuhnya sekalipun.”

“Maaf, maaf Nyai. Aku tidak bermaksud menyinggung perasaanmu. Sama sekali tidak,” Ki Tambi berhenti sejenak. Namun ia memutuskan untuk mengatakannya. Ia tidak mau melingkar semakin jauh, supaya ia tidak lebih banyak membuat kesalahan-kesalahan.

Karena itu maka katanya, “Nyai. Apaboleh buat. Tetapi aku harus mengatakannya, bahwa Panggiring sekarang sudah berada di Kademangan ini.”

Kata-kata Ki Tambi itu ternyata telah menggoncangkan hati perempuan tua itu. Sejenak ia mematung. Darahnya serasa telah terhenti mengalir. Karena itu, maka ia sama sekali tidak segera dapat menjawab sepatah katapun.

Tambi pun kemudian terdiam. Ia memberi kesempatan Nyai Pruwita untuk mengendapkan perasaannya yang agaknya sedang terguncang.

Dalam kesenyapan itu terdengar suara burung perenjak berkicau di atas batang-batang perdu di halaman. Melonjak-lonjak dengan riangnya. Meloncat dari satu dahan ke dahan yang lain.

Sejenak kemudian dengan terbata-bata perempuan tua itu bertanya, “Apakah kau berkata sebenarnya Ki Tambi?”

Ki Tambi mengangguk, “Ya Nyai. Aku berkata sebenarnya.”

Perlahan-lahan kepala Nyai Pruwita tertunduk. Tertunduk dalam-dalam. Betapapun ia bertahan, namun titik-titik air matanya telah jatuh satu-satu di pangkuannya.

“Begitu cepat, Ki Tambi,” desis Nyai Pruwita.

Ki Tambi tidak menjawab.

“Begitu cepat aku harus menjawab persoalan ini.”

Ki Tambi masih tetap berdiam diri. Dan perempuan tua itu pun terdiam pula. Yang terdengar adalah isak halus yang tertahan-tahan.

“Ki Tambi,” berkata Nyai Pruwita itu kemudian. “Adalah suatu kebahagiaan apabila aku dapat menyambut anakku itu memasuki rumah ini.”

Ki Tambi mengangguk-anggukkan kepalanya. “Apakah hal itu tidak dapat kau lakukan Nyai? Maksudku, apakah Bramanti tidak dapat diajak berbicara dengan baik? Bramanti adalah anak yang rendah hati. Anak yang baik. Mungkin ia dapat mengerti, apa yang kau risaukan.”

Perempuan tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi keragu-raguan masih tetap membayang di wajahnya.

“Dimana anak itu sekarang Ki Tambi?” ia bertanya.

“Ia berada di seberang kali Kuning, Nyai.”

“Di seberang kali Kuning? Pada siapa ia tinggal disana?”

“Tidak ada siapapun juga. Ia tinggal di hutan rindang itu. Tetapi jangan kau cemaskan. Sudah menjadi kebiasaannya hidup di sembarang tempat. Hal itu tidak akan membuatnya sakit. Badan maupun hatinya. Tetapi ia menyimpan suatu pengharapan, bahwa ia dapat diterima, hidup di antara masyarakat sewajarnya. Itulah pesan yang harus aku sampaikan kepadamu Nyai.”

“Apakah kau sudah bertemu dengan anak itu?”

“Panggiring menemui aku di tengah sawah tanpa seorang pun yang mengetahuinya.”

Perempuan tua itu mengangguk-angguk. Kemudian ia pun bertanya, “Apakah katanya?”

“Nyai,” jawab Ki Tambi sambil bergeser sejengkal. “Panggiring ingin hidup seperti manusia sewajarnya. Ia berpesan kepadaku, apakah kau dan Bramanti dapat bermurah hati memberinya secuil tanah untuk mendirikan sebuah gubug kecil? Ia akan tinggal di Kademangan ini. Hidup disini, di tanah kelahirannya. Ia akan bekerja sebagai apapun juga. Menjadi orang upahan di sawah, mengangkut kayu atau apapun juga.”

“Oh,” titik air dari mata Nyai Pruwita menjadi semakin keras. “Bagaimana dengan cara hidupnya yang lama?”

Ki Tambi mengerutkan keningnya. Kemudian diceriterakan-nya tentang perempuan tua yang kehilangan anaknya karena dibunuh oleh Panggiring sendiri. Diceriterakannya, betapa hatinya menjadi luluh.

“Panggiring sebagai seorang perampok yang dahsyat sudah mati,” desis Ki Tambi kemudian.

Nyai Pruwita mengangguk-anggukkan kepalanya. “Aku bersyukur kepada Tuhan, bahwa anakku telah direngut-Nya dari dunia yang hitam,” Nyai Pruwita berhenti sejenak, lalu, “Tetapi bagaimana dengan keluarga ini?”

“Nyai,” berkata Ki Tambi, “Berkatalah kepada Bramanti. Aku mengharap bahwa ia dapat mengerti.”

Nyai Pruwita menarik nafas dalam-dalam. Terbayang kembali dua dunia yang pernah dihuninya. Terbayang wajah dua orang laki-laki jantan yang pernah singgah dihatinya.

“Alangkah nistanya aku,” tangisnya di dalam hati. “Sekarang aku harus menghadapi persoalan yang paling sulit. Dua orang anak laki-laki jantan seperti ayahnya masing-masing. Tetapi justru perbedaan ayah itulah yang menjadi soal.”

Kembali mereka terlempar dalam kebekuan. Ki Tambi menundukkan kepalanya, sedang Nyai Pruwita sekali-kali mengusap matanya yang basah.

Berbagai kemungkinan telah membayang di angan-angannya. Sekali tampak olehnya wajah Bramanti yang tersenyum, namun sejenak kemudian wajah itu menjadi buram.

“Aku sama sekali tidak dapat menduga, apa yang akan dikatakannya,” desis perempuan tua itu.

Ki Tambi menarik nafas dalam-dalam. Ia dapat mengerti betapa sulitnya masalah yang dihadapi oleh Nyai Pruwita.

“Tetapi aku adalah ibunya,” berkata perempuan itu kemudian, “Apapun yang akan terjadi, adalah kuwajibanku untuk berusaha.”

Ki Tambi mengangguk-anggukkan kepalanya. Itu adalah pendirian seorang ibu. Meskipun anaknya telah dewasa, dan bahkan telah lama tidak pernah dilihatnya, namun pada suatu saat dimana diperlukan, maka seorang ibu masih juga berkata, “Aku adalah ibunya.”

Bahkan seandainya masih juga mungkin, anak itu pasti masih akan ditimangnya di pangkuan.

“Aku berdosa,” berkata Ki Tambi. “Mudah-mudahan tidak akan ada kesulitan apapun juga.”

Perempuan tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Kapan Nyai berkesempatan untuk memberitahukan kepadaku, supaya apabila Panggiring menemuiku setiap saat aku akan dapat memberikan jawabannya.”

“Aku akan berusaha secepatnya Ki Tambi,” jawab ibu Bramanti. “Tetapi aku mengharap kau menemani aku. Mungkin akan mendapatkan kesulitan untuk mengatakannya. Dalam keadaan yang demikian, kau akan dapat membantuku Ki Tambi.”

Ki Tambi tidak segera menjawab. Ia sama sekali tidak berkeberatan untuk membantu Nyai Pruwita menyatakan maksud Panggiring, tetapi kapan?

Nya Pruwita yang masih dibayangi oleh kegelisahan dan kecemasan itu berkata, ”Kapan kau dapat datang lagi?”

“Setiap saat Nyai.”

“Semakin cepat memang semakin baik Ki Tambi. Aku akan segera menemukan kepastian. Tidak lagi terombang-ambing oleh ketidaktentuan seperti saat ini.”

“Ya, itu akan lebih baik.”

“Bagaimana kalau kau menunggu sejenak, sampai Bramanti pulang dari bendungan?”

“Sekarang?”

“Ya sekarang.”

“Apakah kita sudah siap untuk mengatakannya?”

Perempuan itu menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya kemudian, “Aku kira tidak ada bedanya. Kita tinggal mengatakannya. Masalah selanjutnya akan tergantung sekali pada sikap Bramanti.”

Tambi mengangguk-angguk pula, “Ya, memang tergantung sekali pada sikap Bramanti.”

“Jadi bagaimana? Apakah kita akan menunggunya sekarang?”

Tambi menjadi ragu-ragu sejenak. Kemudian jawabnya, “Baiklah Nyai, mumpung aku tidak mempunyai pekerjaan lain hari ini.”

“Terima kasih Ki Tambi. Kau akan dapat mengatakan apa yang sebenarnya kau dengar dari mulut Panggiring. Sedang aku akan minta kerelaannya, agar ia tidak berkeberatan memberikan sepotong tanah kepada kakaknya.”

Ki Tambi mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Aku akan mencoba membantumu Nyai.”

“Tetapi kau harus berhati-hati, agar anak itu tidak tersinggung.”

Ki Tambi mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab.

Nyai Pruwita pun kemudian terdiam pula. Kepalanya tertunduk dan jantungnya berdebaran. Terbayang betapa Bramanti akan melonjak mendengar permintaan yang tidak akan pernah disangka-sangkanya.

Keduanya terperanjat ketika pintu berderit. Sesosok tubuh melangkah tlundak pintu dengan kepala tertunduk.

“Kau Bramanti?” desis ibunya.

“Ya ibu.”

“Begitu cepat.”

Bramanti mengangguk-angguk.

Sejenak ibunya terdiam. Ditatapnya wajah Ki Tambi yang justru sedang menatapnya.

Tidak seperti biasanya. Bramanti langsung ikut duduk di antara mereka, di atas sehelai tikar pandan di pringgitan.

Ibunya menjadi berdebar-debar. Bramanti hampir tidak pernah berbuat demikian. Biasanya Bramanti selalu berada di luar, dibawah pohon sawo atau di kandangnya. Jarang sekali ia dengan begitu saja langsung duduk menemui tamu ibunya meskipun ia kenal betul dengan orang itu.

Tambi pun melihat sesuatu yang lain pada anak muda itu. Wajahnya tidak secerah wajahnya sehari-hari.

“Apakah sesuatu telah terjadi atasnya,” bertanya Tambi di dalam dirinya. “Apabila demikian, maka lebih bijaksana apabila masalah Panggiring ditundanya lebih dahulu.”

Namun ternyata Tambi tidak mendapat kesempatan. Agaknya ibu Bramanti yang gelisah tidak dapat menahan hatinya lagi, sehingga sebelum mereka membicarakan sesuatu yang lain, Nyai Pruwita dengan suara gemetar berkata, “Bramanti. Mumpung kita dapat bertemu. Ki Tambi agaknya telah menyimpan sesuatu yang perlu kau dengar langsung daripadanya. Aku minta kau dapat menanggapinya dengan tenang. Menurut aku Bramanti, apa yang akan dikatakan oleh Ki Tambi itu perlu mendapat perhatian yang seksama dan bersungguh-sungguh. Dengan demikian keputusan yang kita ambil tidak akan kita sesali di kemudian hari,” perempuan tua itu berhenti sejenak. Sementara Bramanti masih tetap menundukkan kepalanya.

“Apakah kau mau mendengarnya Bramanti?”

Bramanti mengangkat wajahnya. Dipandanginya ibunya dan Ki Tambi berganti-ganti.

“Aku membawa pesan untuk keluarga ini Bramanti,” berkata Ki Tambi dengan hati-hati.

Bramanti masih tetap berdiam diri.

“Seperti pesan ibumu, dengarkanlah pesan itu dengan tenang tanpa prasangka apapun. Kami tahu, bahwa keputusan terakhir terletak ditanganmu. Kalau kau mengiakan, baiklah, dan kami akan berterima kasih. Tetapi kalau kau berkeberatan, apaboleh buat, asal kau telah memikirkannya baik-baik.”

Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Dan tiba-tiba saja jawabnya telah mengejutkan Ki Tambi dan ibunya, sehingga sejenak merekalah yang kemudian membeku. Bahkan serasa jantung mereka pun berhenti berdetak.

“Aku sudah mendengar semuanya paman.”

Ki Tambi yang membeku itu kemudian berusaha mengatur perasaannya. Ketika dadanya telah mulai menjadi tenang, ia bertanya, “Apakah yang telah kau dengar Bramanti?”

“Kakang Panggiring telah datang. Bukankah begitu? Bukankah ia ingin tinggal di Kademangan ini pula, dan bahkan di atas tanahku ini?”

“Darimana kau tahu?” bertanya ibunya terbata-bata.

“Aku tidak pergi ke bendungan. Ketika aku melihat kelainan sikap paman Tambi, aku mencoba mendengar pembicaraan paman dan ibu. Mula-mula aku tidak bermaksud mendengarkan seluruhnya. Aku hanya sekadar ingin tahu. Tetapi yang paman bicarakan dengan ibu ternyata telah sangat menarik perhatianku.”

Ibu Bramanti itu berdesah. Darahnya menjadi semakin cepat mengalir seluruh tubuhnya.

“Karena itu, aku telah mendengar seluruh pembicaraan ibu dengan paman, sehingga paman Tambi tidak usah mengulanginya lagi.”

Tambi seakan-akan memang telah terbungkam. Dipandanginya saja wajah Bramanti tanpa berkedip.

Ternyata setelah berhadapan langsung dengan anak muda itu, ibu Bramanti lah yang berhasil cepat menguasai perasaannya. Karena bagaimana pun juga Bramanti adalah anaknya, sehingga jalinan hubungan di antara mereka, jauh lebih rapat dari pada Ki Tambi. Sehingga dengan demikian, maka betapapun lambatnya, namun Bramanti mendengar ibunya bertanya, “Kalau kau sudah mendengar Bramanti, bagaimanakah jawabanmu?”

Bramanti tidak segera menjawab. Wajahnya menjadi semakin buram, dan dadanya menjadi semakin bergetar.

Pertanyaan serupa itu adalah pertanyaan yang paling sulit baginya. Sekilas terbayang di dalam angan-angannya, seorang perampok berambut panjang, berkumis dan bercambang. Dengan kasar ia merenggut nyawa orang-orang yang telah dipilih menjadi korbannya. Tanpa belas kasihan ia memeras, mengancam, membunuh dan segala macam kekejaman-kekejaman yang lain.

Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Terngiang di telinganya kata-kata Ki Tambi, bahwa Panggiring kini telah meninggalkan dunianya. Namun ia berkata di dalam hatinya, “Aku tidak yakin, bahwa orang yang telah menghayati hidup seperti kakang Panggiring itu dapat meninggalkan cara hidup yang demikian. Kakang Panggiring adalah perampok yang lebih kasar dan lebih buas dari Panembahan Sekar Jagat. Mungkin ia baru terguncang oleh suatu peristiwa yang dapat menyentuh jantungnya, tetapi pada suatu saat ia pasti akan kambuh lagi. Jika demikian, maka Kademangan ini pasti akan ditelannya. Seluruhnya, dan jauh lebih serakah dari Panembahan Sekar Jagat.”

Bramanti mengangkat wajahnya ketika ia mendengar ibunya mendesah, “Bagaimana Bramanti? Apakah kau dapat mengerti?”

Bramanti mengerutkan keningnya. Sekilas berdesir kecemasan tentang Kademangan, tentang halaman dan rumahnya yang kemudian mengguncang dadanya adalah tentang Ratri.

“Ratri selalu bertanya tentang Panggiring,” katanya di dalam hati. “Gila. Kenapa orang itu yang diharapkannya pulang? Pada saat kakang Panggiring pergi, Ratri masih seorang gadis kecil. Perasaan apakah yang telah membelit dihatinya saat itu sehingga seakan-akan ia telah merindukannya?”

Bramanti mengumpat di dalam hati. Sekali lagi ia menyalahkan Temunggul yang terlampau berprasangka kepadanya.

“Aku kini harus mengalami, disiksa oleh perasaan itu seperti yang pernah dialami oleh Temunggul, dan bahkan yang sampai saat ini masih juga dideritanya.”

Sekali lagi Bramanti menarik nafas ketika ibunya mendesaknya, “Bramanti. Aku mengharap bahwa kau dapat mengerti perasaanku. Aku adalah seorang ibu. Ibumu, namun juga ibu Panggiring.”

Ki Tambi menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak segera menyahut. Ia dapat merasakan betapa pedih hati Nyai Pruwita. Tetapi ia tidak dapat membantunya lebih banyak daripada mencoba meyakinkan Bramanti bahwa Panggiring benar-benar akan berusaha memperbaiki dirinya.

“Paman,” berkata Bramanti, “Sebaiknya paman mengatakan kepada kakang Panggiring, untuk kepentingannya dan kepentingan keluarga yang sedang akan bangkit ini, lebih baik ia meninggalkan Kademangan Candisari.”

“Bramanti,” potong ibunya.

Bramanti berpaling. Ditatapnya ibunya yang masih menitikkan air matanya.

“Ibu, aku kira ini adalah jalan yang paling baik buat kita semuanya. Kakang Panggiring sebaiknya berada di tempat yang baru sama sekali, yang belum mengenalnya. Ia akan mendapat penghargaan yang wajar apabila ia benar-benar akan meninggalkan cara hidupnya itu. Ia akan menjadi warga tempat yang baru itu sebagai warga yang baik. Tetapi di sini, setiap orang akan berprasangka kepadanya.”

“Jadi, maksudmu kau telah menolak kedatangan kakakmu di rumah ini?”

Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Sebaiknya, ibu. Sebaiknya kakang Panggiring tidak kembali.”

“Bramanti, itukah keputusanmu?”

Bramanti tidak menjawab. Tetapi kepalanya teranguk kecil.

Tiba-tiba tangis perempuan itu pun seakan-akan tercurah tanpa dapat ditahannya lagi. Betapa ia menyesali semua peristiwa yang pernah dilaluinya. Terbayang kembali berbagai macam tata kehidupan yang pernah dialaminya. Semakin lama menjadi semakin jelas.

Tetapi perempuan itu tidak dapat mengatakannya kepada Bramanti. Ia tidak sampai hati melukai hati anak yang baik itu. Tetapi apakah ia harus melepaskan Panggiring begitu saja dari hatinya?

Di antara isak tangis Nyai Pruwita itu terdengar suara Ki Tambi, “Bramanti, kalau kita lepaskan Panggiring itu ke mana ia kehendaki, maka pada suatu saat ia akan dengan mudah masuk kembali ke dalam dunianya yang hitam. Kita belum tahu, apakah yang dapat ditemuinya di daerahnya yang baru itu. Tetapi di sini, hampir setiap orang sudah dikenalnya. Justru kesediaannya mengakui kesalahannya tanpa bersembunyi itu adalah pertanda bahwa ia telah benar-benar berusaha menghentikan tata cara hidupnya yang kotor itu. Di antara kita, ia akan selalu dapat diperingatkan, bahwa jalannya telah tersesat.”

Tetapi Bramanti menggelengkan kepalanya. Dipandanginya ibunya yang sedang menangis. Tampaklah keningnya menjadi tegang. Perlahan-lahan ia berkata, “Paman. Aku tidak akan dapat mempertanggungjawabkannya. Mungkin sehari dua hari kita dapat memberinya peringatan. Tetapi pada hari-hari berikutnya, apabila ia telah jemu dengan pekerjaan yang didapatnya di Kademangan ini, dan apalagi apabila satu dua orang kawan-kawannya mencarinya, maka Kademangan inilah yang akan menjadi korban,” Bramanti berhenti sejenak, lalu, “Akhir-akhir ini dengan susah payah kita telah berusaha melawan Panembahan Sekar Jagat. Apakah kita akan mengundang lawan di dalam selimut sendiri?”

Ki Tambi menarik nafas dalam-dalam sambil menggelengkan kepalanya. Orang tua itu menjadi kehilangan harapan untuk dapat membujuk Bramanti. Karena itu, maka ia pun tidak mendesaknya lagi.

Sementara itu ibu Bramanti masih juga terisak. Hatinya serasa menjadi terluka.

“Ibu,” berkata Bramanti, “Aku sama sekali tidak ingin melukai hati ibu. Namun sebaiknya ibu tidak sekadar berbicara dengan perasaan seorang ibu, tetapi aku berharap ibu memandang ke dalam lingkungan yang lebih luas. Lingkungan keluarga kita yang kecil dan keluarga seluruh Kademangan Candisari.”

Ibunya sama sekali tidak menjawab.

“Aku minta maaf ibu, bahwa kali ini aku terpaksa menyulitkan perasaan ibu. Tetapi aku harap ibu pun dapat mengerti.”

Ibunya masih tetap berdiam diri.

Bramanti pun kemudian terdiam untuk sejenak. Betapa berat perasaannya menghadapi persoalan yang ternyata datang terlampau cepat untuk dipecahkannya. Di kepalanya seakan-akan berputar bayang-bayang kakaknya Panggiring, ibunya, Ki Tambi, dan bahkan ayahnya yang sudah tidak ada lagi. Meskipun sudah terlampau lama peristiwa itu terjadi, namun seakan-akan tergambar jelas betapa buruknya hubungan antara kakaknya Panggiring dengan ayahnya itu.

Dan yang semakin jelas pula, mengatasi semuanya adalah bayangan Ratri yang selalu bertanya kepadanya, “Kapan Panggiring kembali?”

“Tidak,” ia menggeram di dalam hatinya, “Panggiring tidak akan kembali.”

Bramanti mengangkat kepalanya ketika ia mendengar suara ibunya di antara isak tangisnya, “Jadi kau sudah mengambil keputusan, Bramanti?”

“Terpaksa ibu. Aku tidak bersikap lain.”

Ibunya menarik nafas dalam-dalam. Apaboleh buat. Kalau ia memaksa Bramanti untuk menerima Panggiring, maka akibatnya akan semakin parah. Seandainya keduanya berkeras hati, maka akan mungkin sekali terjadi benturan di antara mereka. Siapa yang menang dan siapa yang kalah, baginya akan sama saja akibatnya. Keduanya adalah anak-anaknya. Karena itu, biarlah ia mengorbankan dirinya. Ia sendiri yang akan menolak kedatangan Panggiring. Biarlah ia memikul akibat dari penolakan itu. Biarlah Panggiring marah kepadanya. Dengan demikian ia akan dapat menghindarkan pertengkaran antara kedua anaknya.

Karena itu, ketika ia sudah tidak dapat mengharap untuk membuka hati Bramanti, perempuan tua itu pun berkata kepada Ki Tambi, “Ki Tambi, aku sudah berusaha untuk meyakinkan Bramanti, bahwa sebaiknya Panggiring dapat diterima. Tetapi ia mempunyai alasan-alasan untuk menolaknya. Karena itu, maka sebaiknya Ki Tambi mengatakan kepadanya, bahwa sebaiknya ia mencari tempat yang lain. Katakan kepadanya bahwa aku, ibunya, bersyukur kepada Tuhan, bahwa ia telah meninggalkan dunianya yang kelam itu. Namun sayang, bahwa rumah ini tidak dapat menampungnya lagi.”

Ki Tambi menundukkan kepalanya. Alangkah beratnya untuk mengatakan hal itu kepada Panggiring. Ia adalah orang yang menyebut dengan penuh pengharapan, agar Panggiring dapat mengisi Kademangannya yang sedang selalu diganggu oleh Panembahan Sekar Jagat. Tetapi ia gagal.

Terbersit sepercik kekecewaan Ki Tambi atas Bramanti yang selama ini dikaguminya. Memang, orang tua itu pun menyadari, tidak ada seorang pun yang sempurna, dalam segala hal. Bramanti yang rendah hati, berperasaan halus yang tidak mendendam meskipun ayahnya telah terbunuh dengan cara yang mengerikan, tetapi ia tidak dapat membuka hatinya untuk menerima kakaknya. Kakak seibu.

Tetapi Ki Tambi dan ibunya tidak dapat melihat isi hati Bramanti dalam keseluruhan. Mereka tidak dapat melihat alasan-alasan yang sebenarnya tersembunyi di dalam hati anak muda itu.

“Ki Tambi,” berkata Nyai Pruwita, “Temuilah anak itu sekali lagi. Katakanlah kepadanya, akulah yang berkeberatan untuk menerimanya.”

“Bukan ibu,” potong Bramanti, “Akulah yang berkeberatan.”

“Itu tidak bijaksana Bramanti. Panggiring akan dapat mendendammu. Tetapi tidak demikian kepadaku.”

“Apakah salahnya kalau ia memang akan mendendamku ibu? Aku sama sekali tidak berkeberatan.”

“Bramanti,” suara perempuan itu menjadi parau, “Agaknya kaulah yang mendendamnya.”

Bramanti terperanjat, “Kenapa aku mendendamnya? Aku tidak mendendam kepada siapapun juga ibu. Bahkan kepada orang-orang yang telah membunuh ayahku.”

“Kalau begitu, kau harus melepaskan setiap persoalan dengan kakakmu. Biarlah aku yang menolaknya,” kemudian kepada Ki Tambi ia berkata, “Ingat Ki Tambi. Akulah yang menolaknya.”

Ketika Bramanti akan menyahut, ibunya cepat-cepat mendahuluinya, “Jangan menolak Bramanti.”

Bramanti menarik nafas dalam-dalam.

Ki Tambi masih saja menundukkan kepalanya. Tetapi ia menangkap maksud Nyai Pruwita, sehingga karena itu, meskipun ia tidak menjawab, namun kepalanya terangguk-angguk kecil.

“Begitulah Ki Tambi,” berkata Nyai Pruwita kemudian, “Agaknya Bramanti sudah tidak akan merubah pendiriannya.”

“Maaf ibu,” sahut Bramanti, “Aku terpaksa.”

Ibunya mengangguk-anggukkan kepalanya. “Karena itu, biarlah pamanmu Tambi berusaha untuk bertemu lagi dengan Panggiring.”

“Baiklah,” berkata Ki Tambi, “Aku akan menemuinya. Aku akan menyampaikan keputusan kalian seperti pesan Nyai.”

“Terima kasih Ki Tambi,” desis perempuan tua itu.

“Aku minta diri. Aku kira tidak ada lagi yang harus dibicarakan.”

Nyai Pruwita mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Sudahlah Nyai,” kemudian kepada Bramanti ia berkata, “Baik-baiklah menjaga ibumu Bramanti.”

Bramanti mengerutkan keningnya. Tetapi ia menangkap kesan yang aneh pada pesan Ki Tambi itu. Dan kesan itu ternyata tetap tergores didinding jantungnya.

Sepeninggalan Ki Tambi, Bramanti pun turun ke halaman. Seperti biasanya ia pergi ke kandang. Tetapi terasa kini betapa sepi halaman rumahnya yang demikian luasnya.

Terbayang wajah Ki Tambi yang kecewa. Dan Bramanti pun kemudian terbaring di atas setumpuk jerami sambil mencoba melihat ke dalam dirinya sendiri.

“Paman Tambi pasti menjadi kecewa,” katanya di dalam hati. “Tetapi apaboleh buat. Aku tidak dapat berbuat lain. Tetapi pada saatnya ia akan menyadari, bahwa aku telah bertindak tepat.”

Namun kemudian terngiang juga suatu tuduhan dalam dasar hatinya, “Kau terlampau mementingkan dirimu sendiri Bramanti. Bukankah kau menjadi cemburu, bahwa setiap kali Ratri selalu bertanya kepadamu tentang Panggiring, dan bukankah kau pernah juga mendengar bahwa ayah Panggiring, suami ibumu sebelum ia kawin dengan ayahmu adalah seorang Demang. Demang Kademangan Candisari.”

“Tidak, tidak.” Bramanti menggeram, “Aku tidak memikirkan itu semua. Aku memikirkan masa depan Kademangan ini.”

Tetapi bagaimana pun juga Bramanti tidak dapat menghindarkan diri dari pergolakan yang terjadi di dalam dirinya. Ia menyadari bahwa dengan demikian ia telah menyakiti hati ibunya. Selama ini ia berusaha untuk menyenangkan hati perempuan tua itu. Menumbuhkan kembali kebanggaan serta kepercayaan kepada diri dan keluarganya. Namun tiba-tiba ia sendirilah yang telah merobek kegembiraan yang sedang mulai dinikmatinya.

“Apaboleh buat, apaboleh buat. Aku telah melakukannya dengan terpaksa sekali.”

Dalam pada itu, Ki Tambi pun melangkah dengan tergesa-gesa pulang ke rumahnya. Ia menjadi kecewa. Kecewa sekali. Tetapi ia tidak dapat berbuat lain daripada menyampaikannya kepada Panggiring, yang tentu akan menjadi sangat kecewa pula. Anak itu merasa bahwa dunia di luar dunianya yang hitam itu ternyata tidak dapat menerimanya kembali.

“Kalau kekecewaannya itu telah mengguncangkan perasaannya, maka ia akan segera terlempar kembali ke dalam dunianya yang lama, justru dengan dendam yang semakin parah di dalam dirinya, terhadap dunian diluarnya,” berkata Ki Tambi di dalam hatinya.

“Kasihan perempuan itu,” desisnya.

Ketika seseorang menyapanya, Ki Tambi menjadi terperanjat, sehingga terbata-bata ia menjawab, “O, aku baru dari rumah Bramanti.”

Sambil mengerutkan keningnya orang itu bertanya, “Kenapa begitu tergesa-gesa?”

“Tidak. Aku tidak tergesa-gesa.”

Orang itu tersenyum. Dan Ki Tambi pun mencoba untuk tersenyum pula.

Malam-malam berikutnya, dengan dada berdebar-debar Ki Tambi selalu berada di sawahnya, menunggu kalau-kalau Panggiring menemuinya, sehingga hampir setiap malam ia terlambat sekali pergi ke Kademangan.

Perubahan itu ditangkap oleh Bramanti, sebagai suatu pernyataan kecewa Ki Tambi atas sikapnya. Betapapun, namun Bramanti setiap kali harus berdesis, “Apaboleh buat. Apaboleh buat.”

Dengan demikian, maka hubungan antara anak muda itu dengan Ki Tambi menjadi agak kaku karenanya.

Namun Ki Tambi adalah orang tua yang bijaksana. Selagi ia menyadari dirinya, maka ia selalu mencoba menghilangkan semua kesan yang ada padanya tentang kecewa yang tergores di dalam dadanya. Ia berusaha untuk tidak merubah sikapnya, kebiasaan-kebiasaan yang lain-lain, dan pembicaraan-pembicaraan, setiap ia bertemu dengan Bramanti. Tetapi satu yang tidak dapat disembunyikan, bahwa ia menjadi selalu lambat datang ke kademangan. Bahkan kadang-kadang hampir pagi ia baru muncul memasuki halaman.

Beberapa malam berturut-turut dengan gelisah Ki Tambi selalu duduk saja di pematang sawahnya. Kadang-kadang saja ia bangkit dan berjalan mondar-mandir. Namun sampai hari keempat, Panggiring masih juga belum menemuinya lagi.

“Apakah anak itu sudah dapat menduga, bahwa permintaannya itu akan ditolak?” desis Ki Tambi, kemudian, “Kasihan.”

Tetapi pada malam berikutnya, dengan dada berdebar-debar Ki Tambi melihat sesosok tubuh berjalan menyusur pematang mendekatinya. Ternyata bahwa orang itu adalah Panggiring.

“Kau Panggiring?” bertanya Ki Tambi.

“Ya paman.”

“Kemarilah, duduklah.”

Langkah Panggiring yang ragu itu sangat terkesan di hati Ki Tambi. Sama sekali bukan langkah seorang perampok yang pernah menguasai daerah yang luas di pesisir Utara. Langkah itu adalah langkah seorang yang penuh dengan kebimbangan dan kecemasan di dalam dirinya, tanpa kepercayaan kepada diri sendiri.

“Duduklah.”

“Terima kasih paman,” jawab Panggiring sambil duduk.

“Aku menunggumu setiap malam disini,” berkata Ki Tambi.

“Aku ragu-ragu paman,” jawab Panggiring, “Ketika aku menemui paman beberapa malam yang lampau, beberapa orang melihatku dan menyapaku.”

Ki Tambi mengangguk-anggukkan kepalanya. “Untunglah bahwa aku berhasil bersembunyi.”  Ki Tambi masih mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Kemudian aku melihat pengawasan yang semakin ketat disetiap malam. Sehingga aku memerlukan waktu untuk mencari celah-celah penjagaan dan pengawasan itu.”

“Ya,” jawab Ki Tambi, “Orang itu telah melaporkan kepada Bramanti dan kemudian telah di dengar oleh Ki Jagabaya pula. Temunggul, pemimpin pengawal Kademangan telah mengatur penjagaan yang lebih ketat lagi. Tetapi aku yakin bahwa kau akan dapat menemukan celah-celah dari penjagaan itu, seperti ternyata pada malam ini.”

“Ya paman,” sahut Panggiring, “Aku memang mengharap segera dapat menemui paman. Aku ingin segera mendengar penjelasan ibu dan Bramanti tentang permintaanku.”

Ki Tambi menarik nafas dalam-dalam.

“Apakah paman telah sempat menyampaikannya.”

“Ya ngger. Aku sudah menyampaikan kepada mereka.”

“Lalu?”

Ki Tambi tidak segera menjawab. Debar di dadanya terasa semakin tajam mengguncang-guncang jantungnya.

“Apakah jawab ibu dan Bramanti paman?”

Ki Tambi masih berdiam diri. Terasa tenggorokannya seperti tersumbat. Kalimat-kalimat yang sudah disusunnya sama sekali tidak mampu dilontarkannya lewat mulutnya.

Namun Ki Tambi itu terperanjat ketika ia mendengar Panggiring berkata, “Aku sudah menduga paman, bahwa ibu dan Bramanti tidak dapat menerima aku kembali. Bukankah begitu?”

“Dari mana kau tahu Panggiring?” bertanya Ki Tambi dengan serta merta.

“Aku hanya menduga paman. Tetapi agaknya demikianlah yang sebenarnya telah terjadi.”

“Tetapi, kau dapat tinggal dirumahku Panggiring. Aku mempunyai rumah meskipun tidak begitu baik dan besar. Tetapi cukup untuk menerima kau. Bukankah kau hanya seorang diri?” Ki Tambi terdiam sejenak, dan suaranya menjadi parau. “Atau, kau dapat mengambil halamanku secukupnya. Halamanku pun cukup luas. Kau dapat membuat sebuah pondok kecil di halaman rumahku. Pondok seperti kau inginkan, yang akan kau buat di halaman rumah Bramanti.”

Panggiring menarik nafas dalam-dalam. Katanya dengan nada yang dalam, “Terima kasih paman. Aku sangat berterima kasih kepada paman Tambi. Tetapi aku terpaksa tidak dapat menerimanya.”

“Kenapa?”

“Adalah kurang bijaksana bagiku, apabila aku tinggal di rumah orang lain, sedang di Kademangan yang sama keluargaku bertempat tinggal.”

“Tetapi, itu tidak apa Panggiring. Kau sudah mencoba menghubungi keluargamu. Tetapi keluargamu menolak.”

“Penolakan ibu dan Bramanti itu wajar sekali paman. Aku sama sekali tidak bersakit hati. Aku memang anak yang sudah terbuang.”

“Ah,” Ki Tambi berdesis, “Tidak. Bukan begitu. Tinggallah di rumahku sehari dua hari.”

“Terima kasih paman.”

“Tetapi, kalau kau menolak tinggal bersamaku, kemana kau akan pergi?”

Panggiring tidak segera menjawab.

“Panggiring,” berkata Ki Tambi. “Sebenarnya penolakan ibumu itu ada juga alasannya. Ibumu ingin agar kau bertempat tinggal di tempat yang sama sekali tidak mengenal kau. Kau akan dapat hidup sewajarnya tanpa prasangka apapun seperti kau tinggal di Kademangan Candisari.”

Panggiring mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Ibu memang benar.”

Ki Tambi mengerutkan keningnya. Ia yakin akan kata-kata Panggiring itu. Namun kemudian Panggiring meneruskan, “Di Kademangan ini, yang setiap orang sudah mengenal aku di masa aku remaja, pasti akan selalu berprasangka, dan bahkan mencurigaiku,” Panggiring mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ibu memang bijaksana. Terlalu bijaksana. Akulah yang bodoh, yang selama ini tidak pernah sempat membuka mata dan hati. Aku tidak pernah berbuat sesuatu untuk ibu dan keluargaku. Adalah sepantasnya bahwa aku tidak akan segera dapat diterimanya.”

Ki Tambi menggigit bibirnya menahan haru. Terngiang kata-kata Bramanti, bahwa kakaknya sama sekali belum pernah berbuat apapun untuk ibunya. Meskipun Panggiring tidak mendengar kata-kata itu diucapkan, namun ia telah menyatakan pengakuannya. Pengakuan yang jujur dan bersih.

“Tetapi itu tidak perlu kau lakukan Panggiring. Kau lebih baik tinggal bersamaku. Betapapun besarnya prasangka orang-orang disekitarmu, tetapi kalau kau berhasil membuktikan bahwa kau telah berubah, maka semuanya akan menjadi baik. Seperti juga sikap orang-orang Candisari terhadap Bramanti.

”Panggiring mengerutkan keningnya, “Bagaimana dengan Bramanti?”

“Semua orang berprasangka juga kepadanya. Orang menyangka bahwa ia akan membalas dendam atas kematian ayahnya. Tetapi pada suatu saat, orang-orang menaruh hormat kepadanya, karena ia dapat membuktikan bahwa ia tidak akan membalas dendam seperti yang disangka orang.”

Panggiring mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian ia berkata, “Terima kasih paman. Terima kasih. Aku lebih condongg untuk mendengar nasehat itu. Paman jangan takut bahwa aku akan kembali ke pesisir Utara, dan akan terjun ke dalam dunia yang kotor itu. Tidak paman. Aku sudah berjanji untuk melepaskan senjataku dan mencuci tanganku.”

Ki Tambi menarik nafas dalam-dalam.

“Namun meskipun demikian paman,” berkata Panggiring, “Apakah paman sudi menolongku sekali lagi?”

“Tentu, tentu Panggiring. Apakah yang kau perlukan?”

“Meskipun ibu dan Bramanti menolak aku tinggal bersama mereka, namun apakah mereka tidak berkeberatan apabila aku berkunjung meskipun hanya sekejap. Aku ingin bertemu dengan ibu dan melihat, betapa Bramanti sekarang, setelah ia menjadi seorang anak muda yang perkasa itu.”

Ki Tambi mengerutkan keningnya.

“Kalau ibu dan Bramanti tidak berkeberatan, aku akan datang meskipun hanya sekejap. Tetapi kalau ibu dan Bramanti tidak dapat menerima aku, maka biarlah aku menitipkan bakti dan salamku kepada ibu dan Bramanti.”

“Aku akan menyampaikannya Panggiring,” jawab Ki Tambi, “Aku kira, mereka tidak akan berkeberatan apapun. Mereka pasti akan menerimamu.”

“Mudah-mudahan paman. Tetapi sebenarnyalah aku telah menjadi terlampau kotor bagi mereka. Bagi ibu dan bagi Bramanti.”

“Tidak, tentu tidak.”

“Paman terlampau baik kepadaku. Aku tidak akan melupakannya seumur hidupku paman.”

“Ah,” desah Ki Tambi, “Apa yang telah aku lakukan sama sekali tidak berarti dibanding dengan nyawaku yang telah kau selamatkan.”

Panggiring mengerutkan keningnya. “Namun paman telah melihat pula, alangkah kotornya duniaku saat itu.” Panggiring berhenti sejenak, lalu, “Nah, paman. Aku minta diri. Aku akan menemui paman besok malam. Aku mengharap bahwa meskipun untuk sekejap, aku dapat bertemu dengan ibu dan Bramanti.”

“Baiklah Panggiring, aku akan menyampaikannya. Besok aku dapat memberimu penjelasan.”

“Terima kasih paman. Aku minta diri, sebelum ada orang lain yang melihatku, berkeliaran di pematang sawah paman Tambi, supaya paman Tambi tidak menjadi ajang pertanyaan.”

“Baiklah. Hati-hatilah Panggiring.”

Panggiring mengangguk, kemudian melangkah sambil berdesis, “Selamat malam paman.”

Panggiring pun kemudian meninggalkan Ki Tambi yang kini berdiri termangu-mangu. Dipandanginya langkah anak muda itu. Langkah yang gontai. Sama sekali bukan langkah seorang yang berilmu demikian tinggi.

Ketika Panggiring telah hilang di dalam gelapnya malam, maka Ki Tambi meninggalkan sawahnya pula. Dengan kepala tunduk ia berjalan ke Kademangan. Di pojok desa ia bertemu dengan dua orang pengawal yang mendapat tugas untuk mengawasi keadaan, dan bahkan diregol jalan padukuhan ia bertemu dengan Temunggul dan Ki Jabagaya sendiri.

“Malam begini sepi,” desis Ki Jagabaya, “Apakah kau bertemu dengan bayangan hitam yang tinggi dan besar?”

Ki Tambi mengerutkan keningnya. Kemudian menggelengkan kepalanya, “Tidak Ki Jagabaya. Aku tidak bertemu dengan siapapun selain dua orang pengawal dipojok desa.”

Keduanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan Temunggul pun bertanya, “Sekarang Ki Tambi akan kemana?”

“Aku akan pergi ke Kademangan, siapakah yang ada disana?”

“Bramanti, dan beberapa anak-anak muda.”

Ki Tambi mengangguk-anggukkan kepalanya. “Baiklah. Aku akan menemui Bramanti.”

Temunggul mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Namun ia berdesis, “Ki Tambi. Aku kira Ki Tambi adalah orang yang dekat dengan Bramanti.”

“Kenapa?”

“Tiga empat hari terakhir, anak muda itu kelihatannya agak lain dari kebiasaannya. Ia menjadi murung dan seakan-akan selalu dibayangi oleh kegelisahan.”

“He,” Ki Tambi mengerutkan keningnya. Pertanyaan itu sama sekali tidak diduganya. Ternyata ia tidak melihat perubahan itu karena hatinya sendiri sedang gelisah. Beberapa malam ia tidak lama berada di Kademangan bersama-sama dengan Bramanti. Ia sendiri lebih sering berada di sawah menunggu Panggiring.

“Apakah kau tidak salah lihat Temunggul?” bertanya Ki Tambi.

“Tidak Ti Tambi. Bukan hanya aku saja yang merasakan kelainan sikap itu. Tetapi beberapa orang anak-anak yang lain.”

“Siapa?”

“Para pengawal.”

Ki Tambi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku akan menemuinya dan bertanya kepadanya.”

“Silakan Ki Tambi, supaya kami tidak menjadi gelisah pula karenanya. Bramanti adalah anak muda yang paling mungkin kami harapkan untuk melindungi kami seisi Kademangan. Kalau ia kecewa karena sesuatu, maka kami pun akan menjadi kecewa pula.”

“Ya, ya. Aku akan bertanya langsung dan berterus terang kepadanya, supaya kami dapat membantunya.”

Ki Tambi pun kemudian meninggalkan Temunggul dan Ki Jagabaya, dan berjalan dengan tergesa-gesa ke Kademangan. Namun langkahnya kemudian melambat, ketika ia bertanya pada diri sendiri. “Kenapa aku tergesa-gesa? Bukankah aku tidak akan bertanya kepada Bramanti, kenapa ia menjadi murung?”

Ki Tambi menarik nafas dalam-dalam. Dan langkahnya pun kemudian tidak lagi seperti diburu oleh waktu.

Di regol itu Temunggul memandang langkah Ki Tambi sampai hilang dibalik kegelapan. Perlahan-lahan ia berdesis, “Ki Tambi akhir-akhir ini kelihatannya juga menjadi gelisah.”

Ki Jagabaya mengangguk, “Ya. Aku juga melihat.”

“Kita tidak tahu, apakah yang telah menggelisahkannya. Tetapi seandainya mereka telah mendengar bahwa Panembahan Sekar Jagat sendiri akan datang, kita wajib bersiap-siap.”

“Tetapi mereka pasti akan mengatakannya kepada kita.”

“Mungkin Bramanti menjaga agar kita tidak menjadi gelisah pula karenanya.”

Ki Jagabaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian ia menggeram, “Persetan. Mari kita berjalan terus. Kalau-kalau kita bertemu dengan orang yang tinggi besar itu.”

Temunggul tidak menjawab. Diikutinya saja langkah Ki Jagabaya menyusur jalan dipinggir padukuhan.

Sementara itu Bramanti duduk termenung di tangga Kademangan. Beberapa anak-anak muda yang sedang berada di Kademangan itu telah tertidur. Satu dua di antara mereka yang bertugas duduk terkantuk-kantuk di gardu di samping regol.

Ketika angin malam yang dingin menyentuh wajah Bramanti, terasa kesegaran udara seakan-akan merasuk sampai ke tulang. Perlahan-lahan Bramanti berdiri sambil menarik nafas dalam-dalam. Selangkah ia berjalan, kemudian berhenti menatap bintang-bintang yang bertaburan dilangit.

Namun hatinya yang gelisah masih saja menyentuh-nyentuh perasaannya. Ia tidak dapat melupakan kehadiran Panggiring di Kademangan ini. Dan ia tidak yakin bahwa Panggiring akan dengan senang hati menerima penolakannya meskipun Ki Tambi akan mengatakan kepadanya, bahwa ibunyalah yang berkeberatan akan kehadirannya.

Kegelisahan, kepepatan hati itu disimpannya rapat-rapat di dalam dadanya. Namun semakin lama terasa menjadi semakin berat. Tidak ada seorang pun yang dapat dibawanya berbincang. Ki Tambi pun tidak, karena jelas baginya, bahwa kali ini ia berbeda pendirian.

Bramanti mengerutkan keningnya ketika ia melihat Panjang memasuki halaman Kademangan sambil berselimut kain panjangnya. Tampak di lambungnya tangkai pedang mencuat dari kain selimutnya itu.

“Kau belum tidur Bramanti?” bertanya Panjang.

“Darimana kau tahu?” bertanya Bramanti.

“Dari parit disebelah. Aku kantuk sekali. Untuk menghilang-kannya aku berjalan dan kemudian mencuci muka. Tetapi dinginnya bukan main.”

Bramanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun tiba-tiba dorongan dari dalam dadanya tidak dapat ditahankannya lagi. Masalah Panggiring serasa telah penuh padat tertimbun di dalam dirinya, sehingga anak muda itu memerlukan tempat untuk meluapkan perasaannya itu. Dengan demikian ia akan merasa bahwa bebannya agak menjadi berkurang.

Selain Ki Tambi, Panjang adalah kawannya yang terdekat pula. Karena itu, tanpa dapat melawan dorongan perasaan sendiri, Bramanti yang betapapun kuat dan tangguhnya, namun ia adalah seorang anak yang masih muda, berkata perlahan-lahan, “Kemarilah Panjang.”

Panjang mengerutkan keningnya. Tetapi sebelum ia bertanya Bramanti telah mendahuluinya melangkah ke pojok pendapa dan duduk memeluk lututnya.

Panjang pun kemudian duduk pula disampingnya. Ia melihat keragu-raguan yang membayang diwajah Bramanti. Meskipun demikian ia tidak mendahului bertanya kepadanya. Dibiarkannya Bramanti merenung sejenak.

Akhirnya Bramanti pun berkata, “Panjang, ada sesuatu yang akan aku katakan kepadamu.”

Panjang menjadi semakin bertanya-tanya di dalam hatinya, meskipun ia masih tetap berdiam diri.

“Tetapi kau harus berjanji.”

Panjang menjadi semakin heran, “Janji untuk apa?” ia bertanya.

“Aku akan mengatakan sesuatu, tetapi kau harus berjanji bahwa kau tidak akan mengatakannya kepada orang lain.”

Panjang berpikir sejenak. Kepalanya terangguk-angguk. Dan dari mulutnya terdengar ia berdesis, “Apakah yang akan kau katakan?”

“Berjanjilah bahwa kau tidak akan mengatakannya kepada orang lain.”

Kepala Panjang terangguk kecil, “Baiklah, aku tidak akan mengatakannya.”

Begitu pepatnya dada Bramanti sehingga seperti bendungan yang terbuka langsung terloncat dari mulutnya, “Panggiring sekarang telah berada disini.”

“He,” Panjang pun terkejut bukan buatan sehingga ia bergeser maju, “Panggiring?”

“Jangan keras-keras,” potong Bramanti. “Ia sudah berada di sekitar Kademangan ini.”

“Apakah maksudnya?”

“Ia ingin pulang ke kampung halaman,” Bramanti berhenti sejenak, lalu, “Tetapi kami tidak akan dapat menerimanya kembali.”

Panjang tidak menjawab. Tetapi wajahnya menjadi tegang. Kemudian didengarnya Bramanti berceritera tentang Panggiring. Tetapi tidak seluruhnya. Sebagian dari keterangan Ki Tambi tidak diucapkannya. Ia ingin seseorang membenarkan pendiriannya, menolak kedatangan kakaknya. Meskipun kadang-kadang ia menjadi berdebar-debar apabila ia menyadari bahwa ia telah berlaku tidak jujur. Tetapi apakah yang dikatakan kakang Panggiring itu juga benar seluruhnya?” katanya di dalam hati.

“Mungkin ia hanya sekadar mengarang sebuah ceritera untuk mendapatkan belas kasihan. Atau lebih jahat lagi apabila ia hanya sekadar suatu siasat untuk mengelabuhi kami di Kademangan ini. Kemudian ia memanggil anak buahnya dan menyembunyikannya di dalam rumah yang akan dibuatnya. Di halaman rumahku pula.”

Panjang mendengarkan ceritera Bramanti sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.

Bahkan kemudian ia berkata, “Aku sependapat dengan kau Bramanti. Kau memang harus menolak kehadirannya. Ia akan dapat berbuat apa saja di dalam Kademangan ini.”

“Itulah sebabnya, aku tidak menerimanya.”

“Tetapi,” tiba-tiba Panjang berkerut, “Apabila ia menjadi marah, apakah ia tidak akan menyerang Kademangan ini bersama anak buahnya.”

“Kami telah siap menerimanya,” jawab Bramanti, “Terharap Panembahan Sekar Jagat kami tidak takut, apalagi terhadap Panggiring yang belum diketahui, apakah benar-benar ia seorang yang pilih tanding.”

Panjang mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi tiba-tiba keningnya berkerut-merut. Bisiknya, “He, Bramanti. Apakah kau tidak berpikir atau menduga, bahwa mungkin sekali orang yang menyebut dirinya Panembahan Sekar Jagat itu adalah Panggiring?”

Wajah Bramanti menegang. Tetapi ia menjawab, “Tetapi bukankah Panggiring pernah mencoba mencegah pemerasan Panembahan Sekar Jagat, meskipun mungkin karena pamrih untuk menggantikan kedudukan Panembahan Sekar Jagat di daerah ini. Tetapi ketika ternyata Panembahan Sekar Jagat tidak menarik dirinya, Panggiring tidak berani berbuat apa-apa dengan seribu macam alasan.”

“Dapat saja ia membuat ceritera semacam itu. Tetapi Panembahan itu sendiri adalah Panggiring.”

Bramanti mengerutkan keningnya.

“Karena kegagalan orang-orangnya di Kademangan ini, setelah kau berterus terang melawannya dan membunuh Sapu Angin, maka Panggiring akan mempergunakan cara yang lain.”

Bramanti tidak segera menjawab. Dugaan itu memang masuk akal. Tetapi bukankah menurut Ki Tambi, Panggiring telah meletakkan senjatanya? Atau Ki Tambi sangat terpengaruh oleh kebaikan hati Panggiring yang menurut Ki Tambi sendiri pernah menyelamatkan nyawanya, bahkan membekalinya dengan lencana bergambar sebuah candi?

Keduanya sejenak saling berdiam diri. Mereka sedang mereka-reka di dalam angan-angan. Bahkan Bramanti sedang mencoba menghubungkan ceritera Ki Tambi dengan dugaan Panjang tentang Panggiring.

“Persetan,” ia menggeram di dalam dirinya, “Siapa pun Panggiring, aku pasti akan tetap menolaknya. Tanahku tidak akan aku berikan kepada seseorang yang telah menjadi sumber bencana bagi keluarga dan bahkan bagi Kademangan yang sedang dibina ini. Seandainya orang lain sekalipun, tetapi orang itu tidak sekotor kakang Panggiring aku sama sekali tidak akan berkeberatan.”

Namun sekilas terbayang wajah Ratri yang bertanya kepadanya, dengan sepenuh harapan, “Bramanti, kapankah Panggiring akan pulang?”

“Tidak. Tidak,” serasa hatinya berteriak, “Ia tidak akan pulang. Biarlah ia menjadi seperti selembar daun kering yang diterbangkan angin. Hidupnya memang tidak akan berguna lagi bagi seisi Kademangan Candisari. Bahkan bagi siapapun.”

Bramanti berpaling ketika ia mendengar Panjang bertanya, “Bagaimana pendapatmu Bramanti?”

“Kemungkinan ia memang ada. Tetapi aku belum berpendapat sejauh itu.”

“Tetapi kau harus tetap berhati-hati Bramanti.”

Bramanti mengangguk-anggukkan kepalanya.

Namun pembicaraan itu pun segera terputus ketika mereka melihat Ki Tambi memasuki regol halaman. Langkahnya satu-satu di atas tanah yang dibasahi oleh titik embun.

“Jangan kau tanyakan kepada paman Tambi,” desis Bramanti, “Dan ingat, jangan kau katakan kepada siapapun juga.”

Panjang mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab.

Ketika Ki Tambi sampai di tangga pendapa, maka Bramanti pun menyapanya dengan kaku, “Selamat malam paman.”

Ki Tambi tersenyum. Jawabnya, “Kau Bramanti. Apakah kau tidak pergi berkeliling?”

“Temunggul dan Ki Jagabaya telah melakukannya.”

“Ya, aku bertemu dengan mereka dipinggir desa.”

“Apakah paman baru datang dari sawah?”

“Ya,” jawab Ki Tambi pendek. Namun ia segera menangkap pertanyaan yang membayang di wajah Bramanti, “Agaknya paman Tambi telah bertemu lagi dengan kakang Panggiring,” tetapi pertanyaan itu tidak pernah diucapkannya.

Maka Ki Tambi pun kemudian duduk pula bersama Bramanti dan Panjang. Tetapi pembicaraan mereka terasa agak lain dari masa-masa sebelumnya. Ki Tambi tidak banyak lagi berceritera, dan Panjang tidak lagi banyak bertanya. Sedang Bramanti pun kemudian menguap beberapa kali.

“Tidurlah Bramanti,” berkata Ki Tambi. “Kau perlu beristirahat. Akhir-akhir ini kau terlampau banyak bangun di malam hari.”

“Ya paman,” jawab Bramanti pendek. Namun ia pergi juga bersama Panjang ke gardu di samping regol. Kepada para peronda ia berkata, “Kami akan beristirahat. Bangunkan kalau kalian memerlukan.”

Peronda itu mengangguk, “Baik,” jawab salah seorang dari mereka.

Bramanti dan Panjang pun kemudian membaringkan diri mereka di atas tikar sehelai di pendapa Kademangan. Namun ternyata mereka tidak dapat segera tertidur, karena berbagai macam bayangan yang mengganggu angan-anggan mereka.

Ki Tambi sendiri pun kemudian pergi pula kegardu di samping regol. Diletakkannya dirinya disudut gardu bersandar dinding sambil berselimut kain panjangnya. Tetapi orang tua itu pun tidak juga dapat tidur.

Ketika Temunggul dan Ki Jagabaya datang, Ki Tambi pun segera bangkit menyongsong mereka.

“Apakah kau sudah bertanya?” bertanya Ki Jagabaya.

Ki Tambi menggeleng, “Belum.”

“Kenapa?”

“Anak itu baru tidur.”

Ki Jagabaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian bersama Temunggul dan Ki Tambi mereka pergi naik ke pendapa. Sekilas mereka melihat di antara anak-anak muda yang terbaring, Bramanti dan Panjang. Namun mereka tidak mengetahui, bahwa meskipun mata mereka terpejam, tetapi mereka tidak sedang tidur.

Sejenak Ki Tambi, Ki Jagabaya dan Temunggul bercakap-cakap, ketika mereka kemudian mendengar ayam jantan berkokok. Warna semburat merah segera membayang di dedaunan, pada titik-titik embun yang bergayutan di dahan-dahan.

“Fajar,” desis Ki Tambi, “Aku akan pulang. Beberapa malam aku tidak berada di rumah sama sekali.”

“Kenapa?” bertanya Ki Jagabaya.

“Aku berada disini.”

“Kau datang terlampau malam beberapa hari ini. Tidak seperti waktu-waktu sebelumnya.”

Ki Tambi mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tersenyum. “Aku menunggui tanaman di sawah.”

Ki Jagabaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekilas dipandanginya wajah Temunggul. Namun mereka tidak berbicara apapun.
Namun kilasan pandangan mata itu telah memberikan kesan kepada Ki Tambi yang mempunyai perasaan yang cukup tajam. Sehingga ia mengambil kesimpulan, “Mereka melihat sesuatu yang lain dari pada diriku. Bukan sekadar pada Bramanti, meskipun mereka mengharap akulah yang akan berbicara kepada anak muda itu.”

Tetapi Ki Tambi tidak berkata apapun. Ia pun kemudian meninggalkan halaman Kademangan dengan gelisah di dalam dada.

Sejenak kemudian langit pun menjadi semakin terang. Satu-satu anak-anak muda yang tertidur di pendapa itu pun terbangun. Dan satu-satu mereka meninggalkan halaman, pulang ke rumah masing-masing. Bramanti yang tidak dapat tidur sekejap pun segera bangkit pula. Tetapi ketika ternyata Panjang akhirnya tertidur nyenyak, anak itu tidak dibangunkannya. Dibiarkannya Panjang berbaring di pendapa.

“Apakah kau dapat tidur?” bertanya Temunggul.

Bramanti menggelengkan kepalanya, “Kau?”

Temunggul pun menggeleng sambil tersenyum. “Aku pun tidak. Tetapi agaknya Panjang tidur dengan nyenyaknya.”

“Panjang pun belum lama tertidur,” jawab Bramanti.

“Biarlah ia tidur. Aku akan menungguinya,” berkata Temunggul.

“Anak itu tidak akan dimakan hantu.”

Temunggul tertawa dan Bramanti pun tersenyum juga. Namun Bramanti itu pun kemudian minta diri mendahului pulang.

Seperti biasanya Temunggul selalu mengumpat-umpat karena anak muda dan Ki Jagabaya yang semalaman berada di pendapa segera pulang, sedang anak-anak yang harus berjaga-jaga di siang hari masih belum datang. Tetapi kali ini ia masih mempunyai seorang kawan meskipun masih tidur. Panjang. Dan Temunggul sengaja tidak membangunkannya.

Namun akhirnya Temunggul melihat Panjang itu menggeliat sambil berdesah. Kemudian membuka matanya.

“O,” dengan serta merta ia bangkit, “Sudah siang.”

“Belum,” jawab Temunggul, “Masih terlalu pagi untuk bangun.”

Panjang pun kemudian bangkit dan duduk bersila sambil mengusap-usap matanya. Ia sudah tidak melihat seorang pun lagi di pendapa selain Temunggul. Tikar-tikar yang dibentangkan di pendapapun telah digulung seluruhnya. Bahkan halaman Kademangan telah sepi.

“Semuanya sudah pulang?”

“Ya,” jawab Temunggul. “Aku pun hampir saja pulang meninggalkan kau disini.”

Panjang menguap, “Bramanti?”

“Ia telah pulang pula.”

Panjang mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekilas dipandanginya wajah Temunggul yang lelah. Sebuah kesan yang lain tersirat di wajah itu.

“He, Panjang,” berkata Temunggul tiba-tiba, “Apakah kau melihat sesuatu yang lain dari pada diri Bramanti?”

“Kenapa?” bertanya Panjang pula.

“Aku melihat kegelisahan yang selama ini membayanginya.”

Panjang mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak segera menjawab.

“Apakah ia tidak pernah mengatakan sesuatu kepadamu?”

Panjang menarik nafas dalam-dalam.

“Aku mencemaskannya. Mungkin ia menahan sesuatu. Mungkin tentang Panembahan Sekar Jagat. Supaya kami tidak menjadi gelisah, ia tidak memberitahukan apapun kepada kami. Atau tentang yang lain lagi.”

Panjang menggeser dirinya. Dipandanginya seluruh halaman dengan tajamnya, seolah-olah ia sedang mencari seseorang yang sedang bersembunyi di balik pepohonan atau di belakang gardu.

“Tidak ada orang.”

Panjang menggigit bibirnya. Namun kemudian ia berkata, “Tetapi jangan mengatakannya kepada orang lain. Kau janji?”

“Tentang apa?”

“Bramanti.”

Temunggul terdiam sejenak, namun kemudian ia menganggukkan kepalanya, “Ya. Aku berjanji.”

“Hanya akulah yang diberitahu. Dan ia pun berpesan untuk tidak memberitahukannya kepada orang lain.”

Temunggul menjadi semakin ingin tahu karenanya. Dengan demikian ia segera menjawab, “Baik, baik. Aku berjanji.”

Panjang bergeser semakin dekat. Sambil berbisik ia berkata, “Bramanti memang sedang resah.”

“Kenapa?” bertanya Temunggul.

“Ternyata Panggiring kini berada di sekitar Kademangan ini.”

“He?” Temunggul pun menjadi terbelalak.

“Panggiring yang ingin pulang ke rumah ibunya, dan minta kepada Bramanti sepotong tanah untuk membuat rumah tempat tinggal.”

“Bukankah ia seorang perampok di pesisir Utara?”

Panjang mengangguk-anggukkan kepalanya. “Itulah keberatan Bramanti. Selama ini ia selalu mencoba memberantas kejahatan yang dilakukan oleh Panembahan Sekar Jagat. Sudah tentu ia tidak akan dapat menyimpan seorang penjahat dirumahnya.”

“Tentu. Kademangan ini pun tidak.”

“Bramanti memang menolak. Bahkan aku bertanya kepadanya, apakah tidak mungkin, bahwa orang yang menyebut dirinya Panembahan Sekar Jagat itu Panggiring sendiri, atau orang yang dipasangnya.”

Temunggul mengerutkan keningnya. Wajahnya semakin lama menjadi semakin tegang. Sementara itu Panjang telah berceritera tentang Panggiring. Tidak saja seperti yang diceriterakan Bramanti, tetapi ia sendiri telah ikut berceritera menurut seleranya sendiri.

“Kita harus membantunya,” desis Temunggul.

“Tentu,” jawab Panjang.

Namun tiba-tiba Temunggul mengerutkan keningnya. Terbayang di dalam angan-angannya Panggiring dan Bramanti yang berhadapan sebagai lawan. Sebagai laki-laki yang memiliki kelebihan masing-masing. Meskipun mereka bersaudara seibu, namun agaknya ada jurang yang telah menganga di antara mereka.

“Siapakah yang lebih unggul di antara mereka?” pertanyaan itu menggelepar di dalam hatinya, kemudian, “Kalau saja Bramanti binasa oleh Panggiring, maka Ratri akan terbebas daripadanya,” Namun kemudian, “Tetapi bagaimana kalau Panggiring yang binasa?”

Temunggul menarik nafas dalam-dalam. Dan tiba-tiba ia menggeram, “Untuk kali ini, kita memang harus membantu Bramanti.”

Tetapi Temunggul itu terkejut ketika ia mendengar Panjang bertanya, “Kenapa untuk kali ini?”

“Oh, tidak,” Temunggul tergagap. “Maksudku kita harus membantu Bramanti apabila timbul benturan di antara mereka. Apalagi apabila ternyata bahwa Panggiring lah yang menyebut dirinya Panembahan Sekar Jagat.”

Panjang mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian ditatapnya halaman yang telah menjadi semakin terang. Sinar matahari pagi telah mulai membayang didedaunan.

“Aku akan pulang. Sebentar lagi anak-anak yang seharusnya bertugas akan segera datang.”

“Kawani aku sambil menunggu anak-anak itu.”

Panjang berpikir sejenak. Tetapi jawabnya, “Maaf, kali ini aku tidak dapat. Mungkin lain kali. Aku mempunyai kepentingan di rumah.”

Temunggul menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Apaboleh buat. Tetapi aku akan segera membuat peraturan baru, sehingga tidak setiap pagi aku terkungkung disini.”

Panjang tidak menjawab. Tetapi ia tersenyum sambil menggeliat. Katanya, “Tetapi ingat, jangan kau katakan kepada orang lain. Sementara kita melihat perkembangan keadaan Bramanti. Mungkin ia memerlukan pertolongan.”

Temunggul mengangguk-anggukkan kepalanya. “Baiklah.”

Sepeninggalan Panjang, Temunggul duduk seorang diri di tangga Pendapa Kademangan sambil bertopang dagu. Angan-angannya membumbung menggapai kedunia yang riuh. Bayangan yang bercampur baur saling melintas. Ratri, Bramanti, Panembahan Sekar Jagat, Ki Demang Candisari dan yang terakhir yang baru saja didengarnya adalah tentang Panggiring.

Temunggul mengerutkan keningnya. Dicobanya untuk memusatkan perhatiannya kepada anak muda ini. Ia pernah mengenalnya semasa kanak-kanak. Panggiring agak lebih tua daripadanya. Bukan seorang periang, tetapi bukan pula seorang anak yang nakal.

“Apakah anak itu pernah aku kenal jugalah yang menjadi seorang perampok yang ganas di pesisir Utara?” pertanyaan itu tumbuh di dalam hatinya.

Tetapi Temunggul itu tidak sempat berangan-angan terus. Sebuah derit pintu dibelakangnya telah mengejutkannya. Dan ketika ia berpaling, dilihatnya Ki Demang menjengukkan kepalanya.

Tiba-tiba sesuatu bergetar di dalam dada Temunggul. Ki Demang itu kini terasa sangat asing baginya. Dan bahkan disaat-saat terakhir orang ini seakan-akan sudah dilupakan. Kademangan Candisari seakan-akan sudah tidak mempunyai Demang lagi. Semuanya berjalan dengan sendirinya. yang memegang peranan di dalam pemerintahan sehari-hari adalah Ki Jagabaya, Bramanti, Ki Tambi dan dirinya sendiri.

Bulu-bulu tengkuk Temunggul meremang ketika ia mendengar Ki Demang itu tertawa pendek sambil bertanya, “Kau sendiri Temunggul?”

Sama sekali diluar sadarnya, apabila kemudian ia berdiri dan tangannya meraba hulu pedang dibawah kain panjang yang diselimutkan ditubuhnya karena dinginnya udara pagi.

“He? Apakah kau sendiri?”

Temunggul menganggukkan kepalanya, “Ya Ki Demang.”

Debar jantung Temunggul serasa semakin cepat berdenyut. Dengan tegangnya dipandanginya Ki Demang yang kemudian melangkahkan kakinya keluar dari pintu rumahnya.

“Duduklah, duduklah.”

Temunggul masih juga mematung.

“Kenapa kau diam saja? He, kenapa kau memandang aku seperti belum pernah melihatnya?”

Temunggul tergagap. Tetapi ia harus menjawab, “Bukan begitu Ki Demang. Tetapi aku menjadi heran, kenapa Ki Demang semakin tidak pernah kelihatan, justru keadaan Kademangan ini menjadi semakin hangat.”

Dan tengkuk Temunggul menjadi semakin meremang oleh suara tertawa Ki Demang yang menjadi semakin ber-kepanjangan.

Ketika Ki Demang maju mendekatinya, Temunggul surut selangkah.

“He, kenapa kau menjadi takut seperti melihat hantu?” bertanya Ki Demang. “Duduklah. Aku ingin berbicara dengan kau. Jangan takut. Aku tidak akan menyalahkanmu karena kau masih juga belum berhasil. Bramanti memang seorang yang luar biasa. Apalagi kau terlampau sulit untuk mendapatkan kesempatan berdua saja dengan anak muda itu.”

Temunggul mengangguk-anggukkan kepalanya, “Ya Ki Demang.”

“Nah duduklah. Kau akan mendengar semuanya, kenapa aku menjadi semakin jauh dari orang-orang Kademangan Candisari yang kebetulan sekarang sedang berpengaruh.”

Temunggul mengerutkan keningnya.

“Kemarilah. Jangan cemas. Kau tidak termasuk di antaranya, apabila kau menempati janjimu.”

Temunggul tidak segera menjawab. Ia masih berdiri saja seakan-akan membeku ditempatnya.

“He, kenapa kau Temunggul? Kemarilah, duduklah. Kau tidak sedang berhadapan sesosok hantu.”

Temunggul menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ditatapnya wajah Ki Demang. Masih juga Ki Demang yang dahulu. Meskipun demikian ia tidak berhasil mengusir keasingan yang mencengkeramnya.

Namun tiba-tiba Temunggul menyadarinya. Sebagai pimpinan pengawal, maka ia tidak dapat melepaskan setiap perasaan yang aneh seperti yang kini sedang bergolak di dalam dadanya. Bahkan ia pernah berniat untuk mengetahui, apakah maksud Ki Demang yang sebenarnya dengan usuhanya untuk menyingkirkan Bramanti.

Karena itu, maka dimantapkannya niatnya. Ia harus menemukan jawaban, apakah sebenarnya maksud Ki Demang itu.

Perlahan-lahan Temunggul melangkah maju. Ketika ia berada di depan tangga, maka Ki Demang pun melangkah turun. Ditepuknya bahu anak muda itu sambil berkata, “Duduklah.”

Temunggul pun kemudian duduk di samping Ki Demang. Namun sekali-kali ia masih merasa aneh atas sikapnya. Sambil tersenyum-senyum Ki Demang itu pun kemudian berkata, “Aku tahu kesulitanmu Temunggul.”

Temunggul tidak menjawab. Tetapi kepalanya tertunduk.

“Tetapi itu bukan berarti bahwa kau harus membatalkan niatmu. Kau harus yakin, bahwa jika kau berhasil, seluruh Kademangan ini akan berterima kasih kepadamu.”

Temunggul masih belum menjawab.

“Temunggul,” berkata Ki Demang, “Tindakan yang akan kau lakukan itu memang tidak dibatasi oleh waktu. Kau harus mendapat kesempatan untuk melakukannya. Tetapi meskipun demikian tidak berarti bahwa hal itu dapat berlarut-larut berkepanjangan. Sadarilah, bahwa pada suatu saat Panembahan Sekar Jagat akan kehilangan kesabaran.”

Temunggul mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Apakah kau dapat mengerti?”

Temunggul mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba saja ia bertanya, “Tetapi kepentinganku sama sekali tidak terbatas oleh waktu itu Ki Demang. Ratri tidak akan pergi dari Kademangan ini. Dengan demikian aku dapat menunggu kapan saja kesempatan itu akan datang.”

“Kau memang bodoh.”

“Aku tidak mau gagal. Kalau sekali aku gagal, maka leherku akan menjadi taruhan.”

Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “Tetapi seperti yang sudah aku katakan. Persoalan itu bersangkut paut dengan matinya seorang kepercayaan Panembahan Sekar Jagat yang bernama Sapu Angin. Kau tahu. Semakin cepat Bramanti tersingkirkan akan menjadi semakin baik, “Ki Demang menelan ludahnya, lalu, “He, Temunggul. Apakah kau benar-benar dapat aku percaya?”

“Kenapa?”

“Bahwa kau benar-benar berani menyingkirkan Bramanti.”

“Ada atau tidak ada orang yang mempercayai aku, itu adalah persoalan pokok bagiku. Tanpa orang lain, aku akan melakukannya.”

“Bagus. Bagus. Aku memang lebih baik berterus terang kepadamu.”

Temunggul mengerutkan keningnya.

“Tetapi ingat. Setiap usaha mengkhianatinya, maka akan berhadapan dengan Panembahan Sekar Jagat.”

Temunggul masih tetap berdiam diri.

“Temunggul,” berkata Ki Demang itu perlahan-lahan hampir berbisik. Sekali-kali dipandanginya regol halaman kalau ada seorang yang memasukinya, “Aku akan berterus terang. Panembahan Sekar Jagat akan segera datang. Segera. Untuk meyakinkan bahwa kehadirannya di Kademangan ini tidak akan menemui rintangan yang berarti, maka Bramanti harus disingkirkan lebih dahulu dengan caramu itu. Lebih daripada itu, Panembahan Sekar Jagat akan sangat berterimakasih kepadamu, dan kau akan mendapat tempat yang baik sekali di Kademangan ini kelak. Sudah tentu Panembahan Sekar Jagat akan menyingkirkan orang-orang yang tidak disukainya. Ki Tambi, Panjang dan bahkan Ki Jagabaya.”

Dada Temunggul berguncang mendengar keterangan Ki Demang itu. Kini sedikit banyak ia telah dapat membayangkan, apakah niat Ki Demang yang sebenarnya. Agaknya orang ini telah berhubungan dengan Panembahan Sekar Jagat yang menuntut kematian Bramanti sebagai ganti Sapu Angin. Namun lebih daripada itu, Temunggul jadi semakin curiga, bahwa selama ini Ki Demang selalu menakut-nakuti dan menghalang-halangi usaha perlawanan terhadap Panembahan Sekar Jagat itu.

“Agaknya Ki Demang mamang mempunyai hubungan sejak lama dengan Panembahan Sekar Jagat.”

Namun Temunggul mencoba menahan gejolak di dalam dadanya, supaya tidak berkesan diwajahnya.

“Apakah kau sekarang menjadi jelas?” bertanya Ki Demang.

Temunggul menganggukkan kepalanya, “Ya Ki Demang.”

Dan Ki Demang itu berkata seterusnya, “Dan kau harus menyadari, bahwa tidak akan ada kekuatan yang dapat melawan Panembahan Sekar Jagat. Seandainya kau tidak berhasil sekalipun, Panembahan Sekar Jagat tidak akan mengurungkan niatnya. Bahkan kau sendiri akan dilibatkan pula dalam persoalan ini, karena terbukti kau ikut serta dalam pertempuran di halaman rumah Bramanti. Namun akulah yang berusaha dengan susah payah untuk menyisihkan kau. Selama ini kau adalah pembantuku yang paling baik.”

Temunggul masih saja mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Tetapi ingat pula akan waktu. Kalau kau mungkin melakukannya, lakukanlah hari ini.”

“Hari ini?” Temunggul terperanjat.

“Ya, hari ini. Carilah kesempatan. Kau dapat datang ke rumahnya, atau dibendungan atau ditengah sawah atau dimana saja.”

“Kenapa hari ini?”

Ki Demang menarik nafas. Jawabnya, “Begitu pesannya.”

Dada Temunggul menjadi semakin terguncang-guncang. Namun untuk menyembunyikannya ia menjawab, “Baiklah. Aku akan berusaha. Mudah-mudahan usahaku berhasil.”

Ki Demang menepuk pundak Temunggul, “Tentu. Kau tentu berhasil. Aku percaya kepadamu.”

Temunggul mengangguk-angguk.

“Sayang, sebenarnya aku masih akan berbicara agak panjang. Tetapi itu, seorang pengawal telah datang. Bagiku lebih baik untuk sementara mengasingkan diri sampai pada saatnya aku akan bekerja bersama dengan orang-orang yang dapat mempergunakan otaknya.”

“Baiklah Ki Demang, aku pun akan segera minta diri setelah ada orang lain yang menggantikanku disini.”

“Hati-hatilah,” desis Ki Demang sambil berdiri dan melangkah menyeberangi pendapa, masuk ke pringgitan.

Temunggul kemudian berdiri termangu-mangu. Yang di dengarnya itu adalah sebuah berita yang sangat berharga baginya. Ia dapat memanfaatkannya dari dua segi. Melanjutkan pesan Ki Demang, dengan harapan-harapan yang dapat diberikan oleh Panembahan Sekar Jagat kepadanya, atau berdiri teguh di atas keyakinannya selama ini.

Wajah Ratri yang kadang-kadang membayang memang dapat mempengaruhinya. Tetapi tiba-tiba ia menggeram, “Bramanti harus segera mengetahui masalah ini.”

Ketika seorang lagi telah datang, maka Temunggul pun kemudian minta diri kepada kedua orang pengawal yang akan menggantikan tugasnya, berjaga-jaga di gardu Kademangan.

Di sepanjang jalan, Temunggul masih saja bergulat di dalam angan-angan. Tanpa disadarinya ia telah berdiri di pinggir desa. Namun ia tidak tahu, kemana ia akan pergi.

Sejenak, Temunggul berdiri saja termenung memandangi dedaunan yang hijau terhampar dihadapannya. Cahaya yang segar, bekejar-kejaran sambil berloncatan dengan riangnya.

Temunggul menarik nafas. Serasa segarnya udara pagi akan dihirupnya sepuas-puasnya.

Temunggul terkejut ketika ia mendengar sapa seorang gadis. Ketika ia berpaling, dilihatnya gadis yang menyapanya itu menjinjing sebuah bakul penuh dengan cucian yang akan dibawanya ke bendungan.

“Sepagi ini kau sudah berada disini Temunggul?”

“Ya, ya,” Temunggul tergagap.

“Apakah kau akan pergi ke bendungan?”

Temunggul ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia menjawab, “Tidak. Aku tidak bermaksud ke bendungan.”

“Kenapa?”

Pertanyaan itu telah membingungkan Temunggul. Namun kemudian ia menjawab, “Aku baru saja pulang dari Kademangan. Semalam aku berada disana. Aku ingin pulang dan beristirahat.”

Gadis itu mengerutkan keningnya. “Dimana rumahmu sekarang?”

Temunggul menjadi semakin bingung. Ia tahu gadis itu telah menyindirnya, karena jalan simpang yang menuju ke rumahnya telah lewat.

“Aku tahu,” sambung gadis itu. “Kau menunggu seseorang.”

Temunggul menggeleng, “Aku tidak menunggu siapapun.”

“Jalan ini adalah jalan ke rumahku. Di sebelah rumahku ada rumah yang paling kau kenal.”

“Ah,” segores sentuhan telah membekas dihatinya. Ia tahu bahwa rumah yang dimaksud adalah rumah Ratri. Gadis ini adalah gadis yang rumahnya tidak begitu jauh dari rumah Ratri. Gadis yang pernah di antarnya bersama Ratri dimalam hari, setelah pertunjukan di Kademangan selesai. Ketika kedua gadis ini bersama Ratri, hampir saja diterkam oleh kebuasan orang-orang Panembahan Sekar Jagat.

“Bukan begitu?” bertanya gadis itu sambil tersenyum.

“Tidak. Aku tidak menunggunya.”

Gadis itu tertawa. Dan dengan manjanya ia berkata. “Tetapi tanpa Ratri kau pasti akan mau mengantarkan aku.”

“Ah.”

“Aku berani bertaruh hitam kukuku.”

“Jangan mengganggu. Kalau kau memerlukan kawan, marilah aku kawani kau ke bendungan.”

“Tidak mau. Kecuali bersama Ratri.”

“Tidak ada bedanya bagiku, siapapun orang itu. Ratri, atau Sumi, atau Sari atau kau.”

Gadis itu memandang Temunggul dengan sorot matanya yang cerah. Namun ketika tatapan mata mereka bertemu, gadis itu memalingkan wajahnya.

Temunggul menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak pernah merasa tertarik oleh seorang gadis selain Ratri. Gadis ini pun tidak, meskipun ia telah lama mengenalnya, sepanjang perkenalannya dengan Ratri. Bahkan sejak mereka masih berlari-larian dengan telanjang di pematang sawah.

Tetapi tiba-tiba Temunggul menangkap sorot mata yang cerah itu dengan hati yang berdebar-debar.

Temunggul berpaling ketika ia mendengar gadis itu berkata, “Jalan inilah yang akan dilewatinya. Tunggulah disini.”

“Ah,” sekali lagi berdesah. “Aku tidak menunggunya.”

Gadis itu mencibirkan bibirnya sambil mengerling. Tiba-tiba ia melangkah sambil berkata, “Selamat pagi Temunggul.”

Temunggul memandangnya dengan tajam. Namun kemudian ia pun tersenyum. “Marilah, aku bawakan bakulmu.”

“Jangan.”

Tetapi gadis itu tidak mempertahankannya ketika Temunggul meraih bakul cuciannya. Keduanya kemudian berjalan di sepanjang pematang menuju ke bendungan.

Hari pun ternyata memang masih terlampau pagi, sehingga belum ada seorang pun yang mendahului keduanya. Meskipun demikian keduanya hampir tidak berbicara apapun. Gadis itu langsung mencelupkan pakaian-pakaian kotor yang dibawanya ke dalam air. Terasa tubuhnya menggeramang karena air yang masih terlampau dingin.

“Kau tidak mandi?” bertanya gadis itu.

Temunggul menggeleng, “Tidak. Aku tidak membawa ganti pakaian.”

Gadis itu tersenyum. Wajahnya menjadi semburat merah.

“Aku akan menunggu Bramanti di sini,” tiba-tiba Temunggul berkata.

“He? Kenapa?” tiba-tiba gadis itu menjadi cemas. Ia pernah mendengar kabar bahwa keduanya pernah bertengkar, meskipun akhirnya mereka menjadi baik kembali.

“Tidak apa-apa. Aku mengharap ia tidak terlampau cepat datang, sebelum kau habis mandi.”

Sekali lagi wajah gadis itu menjadi semburat merah dan tertunduk dalam-dalam. Meskipun demikia ia masih sempat menyahut, “Temunggul. Ratri juga akan mandi nanti.”

Temunggul tidak menjawab. Tetapi ia melangkah ke atas pasir tepian menjauh. Sekilas terngiang kata-kata Ki Demang kepadanya. Tentang Bramanti, Panembahan Sekar Jagat dan tentang Ratri.

“Ratri berhak menentukan sikapnya,” katanya, “Agaknya ia tidak menanggapi perasaanku. Buat apa aku menjadi gila karenanya.”

Tetapi tiba-tiba teringat otaknya, bahaya yang mengancam Kademangannya seperti yang dikatakan oleh Ki Demang. Sehingga ia berdesis di dalam hatinya, “Aku harus segera bertemu dengan Bramanti.” Tetapi ketika terpandang olehnya gadis yang sedang mencuci sambil membenamkan dirinya di dalam air yang jernih itu, ia mengurungkan niatnya, “Biarlah aku menunggu Bramanti di sini. Hari masih cukup panjang.”

Dan Temunggul itu pun kemudian duduk berjuntai di atas sebuah batu sebesar kerbau.

Ketika matahari menjadi semakin tinggi, dan kawan-kawan gadis yang sedang mencuci itu berdatangan, Temunggul memutar dirinya, membelakangi bendungan. Dan bendungan itu kemudian sama sekali sudah tidak menarik lagi baginya.

Karena itu, tanpa memberitahukan kepada siapapun juga, Temunggul melangkah naik ke atas tebing yang landai, kemudian berjalan menyusur tanggul. Kepalanya sekali-kali tertunduk dan sekali-kali menengadah, oleh kepepatan isi dadanya.

Temunggul tertegun ketika ia melihat Suwela sedang sibuk memperbaiki pematang sawahnya. Perlahan-lahan ia mendekatinya sambil berkata, “Kenapa pematangmu?”

“Anak-anak nakal,” jawabnya, “Mereka mencari belut disini, sehingga pematangku hampir putus.”

Temunggul menarik nafas dalam-dalam. Suwela adalah orang yang pertama-tama ditemuinya, kecuali gadis-gadis dan orang-orang yang tidak begitu dekat. Sedang Suwela adalah salah seorang dari para pengawal yang dipimpinnya.

Tiba-tiba saja Temunggul yang merasa dadanya terlampau pepat itu pun ingin mengurangi beban yang serasa memberatinya. Maka katanya berbisik, “He, aku mendengar sebuah berita yang menarik. Apakah kau mau mendengar?”

Suwela meletakkan cangkulnya. “Tentang?” Temunggul menjadi agak bingung. Yang manakah yang akan dikatakan kepada Suwela untuk mengurangi beban perasaannya. Tentang hubungan Ki Demang dengan Panembahan Sekar Jagat? Tentang Bramanti dan Panggiring atau tentang gadis yang sudah lama dikenalnya, tetapi baru pagi ini ia melihat matanya yang lincah dan cerah.

“Tentang apa?”

Temunggul menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak dapat menyimpan semuanya di dalam hati tanpa menumpahkannya kau harus berjanji bahwa kau tidak akan mengatakannya kepada siapapun.”

Suwela berpikir sejenak, kemudian, “Baiklah, aku berjanji.”
“Panggiring ada disini sekarang.”

“He? Panggiring kakak seibu Bramanti?”

“Ya. Dan Bramanti menjadi gelisah. Ia berusaha menolak kedatangan perampok yang ganas itu.”

“Tentu. Tentu Bramanti menolaknya.”

Sejenak mereka masih berbicara. Kening mereka berkerut merut. Dan pembicaraan mereka tampaknya menjadi bersunguh-sungguh.

“Tetapi ingat, jangan kau katakan kepada siapapun juga.”

Suwela menganggukkan kepalanya, “Tentu. Aku tidak akan mengatakannya kepada siapapun.”

Temunggul pun kemudian meninggalkan Suwela yang melanjutkan kerjanya, memperbaiki pematang sawahnya. Namun Suwela itu pun terhenti pula ketika ia melihat kawannya, seorang pengawal yang lain lewat di atas pematang yang sedang diperbaiki.

“Hus, seharusnya kau mencari jalan lain.”

“Kenapa?”

“Bukankah kau lihat bahwa pematangku sedang aku perbaiki? Kalau kau injak juga, maka bagian yang baru saja aku tambal itu akan longsor.”

“Dukung aku, supaya pematangmu tidak rusak.”

“Aku memang ingin melemparkan kau ke dalam parit itu.”

Kawan Suwela itu tersenyum. Tetapi ia berjalan turun. Ketika ia sampai ke bagian yang baru diperbaiki, ia pun turun ke dalam parit sambil bergumam, “Aku masih menaruh belas kasihan kepadamu. Biarlah kakiku menjadi agak kotor dan dingin.”

“Kalau kau tidak mau turun, aku seret kau.”

Kawannya tertawa. Tetapi tiba-tiba Suwela berbisik, “He berhentilah sebentar.”

Kawannya mengerutkan keningnya. Dan Suwela mendekatinya, “Kau mau mendengar? Tetapi janji, bahwa kau tidak akan mengatakannya kepada orang lain.”

“Apa?”

“Bramanti telah siap melawan Panggiring.”

“He,” pengawal itu pun terkejut.

“Ya. Mereka memang sudah saling mendendam. Dan agaknya mereka akan bertempur.”

“Darimana kau dengar?”

“Temunggul. Tetapi ingat jangan kau katakan kepada orang lain lagi. Nanti aku dicekiknya.”

Pengawal itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia masih bertanya beberapa hal. Dan Suwelapun telah mengarang sebuah ceritera yang paling menyeramkan tentang Panggiring dan Bramanti.

“Baiklah. Aku tidak akan mengatakannya kepada siapapun.”

Sepeninggalan kawannya, Suwela pun telah tenggelam lagi di dalam kerjanya. Namun sementara itu berita tentang Panggiring telah merambat ke setiap telinga. Setiap kata mereka berpesan, “Ingat, jangan kau katakan kepada orang lain,” Namun belum tengah hari hampir seisi Kademangan telah mendengar bahwa Panggiring telah berada di sekitar Kademangan itu.

Dalam pada itu Ki Tambi telah memerlukan datang ke rumah Nyai Pruwita untuk menyampaikan permintaan Panggiring yang terakhir. Bagaimanapun juga, ia masih ingin bertemu dengan ibu dan adiknya. Sebentar saja, untuk melepaskan kerinduan dari anak yang selama ini terasing untuk menyampaikan bakti dan salam kepada keluarganya yang lebih dari dua orang itu saja.

Tetapi sekali lagi Ki Tambi menjadi kecewa. Sekali lagi Nyai Pruwita harus menitikkan air mata.

Dengan bersungguh-sungguh Bramanti berkata, “Aku tidak cepat mempercayainya paman,” Bahkan kemudian terngiang kembali ditelinganya kecurigaan Panjang. “Apakah tidak mungkin bahwa Panggiring itu juga menyebut dirinya Panembahan Sekar Jagat?” Dan kata-kata itupun diulangnya dihadapan Ki Tambi dan ibunya.

“Tidak. Tidak mungkin,” bantah Ki Tambi dengan serta merta, “Aku bertemu dengan Panggiring di pesisir Utara, sedang Panembahan Sekar Jagat berada di daerah ini.”

“Panggiring bukan seorang anak yang dungu paman. Ia dapat berbuat lebih daripada itu. Ia dapat berada disepuluh tempat sekaligus meskipun hanya nama-namanya yang mungkin berbeda-beda.”

“Tidak. Aku yakin tidak. Ia tidak selicik itu. Meskipun ia seorang penjahat, tetapi ia adalah seorang lelaki jantan. Ia jantan sebagai seorang penjahat yang besar.”

Bramanti menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Tidak ada seorang penjahat yang dapat berlaku jujur. Ia mesti seorang yang tidak lagi dibatasi oleh adab yang manapun juga.”

“Sudahlah,” potong Nyai Pruwita di sela-sela tangisnya, “Jangan saling memaki. Biarlah anak-anakku masing-masing berada ditempatnya,” suara perempuan itu tenggelam di dalam isaknya yang mengeras, namun kemudian, “Ki Tambi sampaikan kepada Panggiring, bahwa kali ini aku jugalah yang menolak kehadirannya. Aku tidak dapat menerimanya.”

Ki Tambi menundukkan kepalanya. Tangis perempuan itu semakin mengeras, sehingga amben tempat duduknya itu pun terguncang-guncang. Sebelah tangannya memegangi dadanya, dan sebelah tangannya yang lain berpegangan pada bingkai amben bambunya, seakan-akan ia sedang mencari kekuatan untuk menahan kepahitan perasaannya.

Ki Tambi menarik nafas melihat perempuan itu menangis sampai terbungkuk-bungkuk ditempat duduknya.

Bramanti pun menjadi iba melihat ibunya menangis. Bahkan matanya pun menjadi basah, dan tenggorokannya serasa tersumbat.

Namun ia tidak dapat membiarkan Panggiring memasuki halaman rumahnya, bahkan memasuki Kademangan ini. Penjahat yang mengerikan itu dapat berbuat apa saja tanpa diduga-duga. Apabila tiba-tiba saja Ratri mengetahui kedatangannya dan menyongsongnya dalam kerinduan.

“Gila,” tiba-tiba Bramanti menggeram di dalam hatinya. “Ia harus segera pergi. Kalau perlu dengan kekerasan. Ia telah meninggalkan ibu dan ayah ada waktu itu. Bramanti mengerutkan keningnya, “Selama ini, selama ibu dalam kesulitan, ia tidak pernah memperhatikannya. Kini setelah semuanya menjadi baik, tiba-tiba saja ia datang dengan tuntutan-tuntutannya yang gila itu.”

“Aku tidak menyangka,” desis Ki Tambi perlahan hampir kepada dirinya sendiri.

Bramanti berpaling. Dipandanginya wajah orang tua yang suram itu. Namun wajah itu tiba-tiba menjadi merah seakan-akan membara. Dengan nada yang berat Ki Tambi berkata, “Bramanti, sayang. Selama ini aku telah mengagumimu. Kau aku anggap sebagai manusia yang terbaik didunia. Karena telah berhasil melepaskan dendam atas kematian ayahmu. Tetapi ternyata semua itu berhasil kau lakukan atas dasar nalar. Tetapi tidak dasar perasaanmu yang paling halus. Ternyata kau juga seorang pendendam, justru terhadap saudaramu sendiri. Sampai permintaannya yang begitu lembut dari dasar hati manusianya, sebagai seorang anak yang merasa berdosa itu pun kau tolak. Aku kecewa Bramanti. Kecewa sekali. Aku tidak menyangka bahwa ternyata kau berhati batu.”

Dada Bramanti berdesir mendengar tuduhan itu. Secercah warna merahpun membayang pulang di wajahnya. Bagaimana pun juga terasa kata-kata Ki Tambi itu menyengat telinganya, dan membekas dijantungnya.

Meskipun ia masih berusaha menahan hati, namun terloncat pula jawabannya, “Paman tergesa-gesa melontarkan kata-kata itu. Apakah paman yakin bahwa kakang Panggiring berkata sebenarnya? Apakah paman percaya sepenuhnya bahwa kakang Panggiring mengatakan penyesalannya itu dari lubuk hatinya, dari dasar hati manusianya? Bagaimanakah jadinya apabila pada suatu ketika kakang Panggiring itu sendiri telah menelan paman dan seluruh Kademangan ini? Aku tidak percaya. Kalau dengan demikian paman menuduh aku tidak berperikemanusiaan, terserahlah. Tetapi aku ingin berhati-hati.”

Ki Tambi mengatubkan giginya rapat-rapat. Tetapi ia pun segan bertengkar dengan Bramanti yang selama ini dikaguminya.

“Tidak ada gunanya kalian berbantah,” terdengar suara Nyai Pruwita yang tersendat-sendat. “Aku memang sudah mengambil keputusan, bahwa seandainya Panggiring meninggalkan Kademangan ini. Seandainya ia memaksa dan berkeras hati, akibatnya sama sekali tidak akan aku inginkan.”

Ki Tambi menganggukkan kepalanya. Jawabnya, “Baik Nyai. Aku akan mengatakannya. Aku bukan sanak dan bukan kadangnya. Apapun yang akan terjadi atas anak itu sama sekali bukan tanggung jawabku. Aku sudah menyampaikan pesan yang seharusnya aku sampaikan, dan aku sudah mendengar jawabannya.”

“Ki Tambi,” potong perempuan tua itu.

Ki Tambi menarik nafas dalam-dalam. Dengan lesu ia berdiri dan berkata hambar, “Aku minta diri. Nanti malam aku akan menyampaikan jawaban ini kepadanya.”

Ki Tambi tidak menunggu jawaban siapapun. Segera ia melangkah meninggalkan ruangan itu.

Sejenak ruangan yang ditinggalkan oleh Ki Tambi itu serasa membeku. Nyai Pruwita masih tetap ditempatnya dan Bramanti pun belum beranjak pula.

Dan tiba-tiba saja kebekuan itu telah dipecahkan oleh tangis Nyai Pruwita yang tidak dapat ditahankannya pula. Sekali lagi ia menangis sejadi-jadinya, sehingga tubuhnya terguncang-guncang.

Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Dalam sekali. Perlahan-lahan ia melangkah mendekati ibunya dan kemudian berjongkok di hadapannya. Dengan nada yang dalam ia berkata, “Ibu, aku telah menyakiti hati ibu.”

Nyai Pruwita mengangkat wajahnya, tetapi air matanya masih tetap mengalir tanpa tertahankan lagi.

Tiba-tiba diraihnya kepala anaknya sambil berdesis, “Kau tidak bersalah Bramanti. Kau tidak bersalah.”

Bramanti tidak menjawab. Dibiarkannya ibunya memeluk kepalanya dan dibiarkannya rambutnya dibasahi dengan air mata.

Meskipun tidak terucapkan namun perempuan tua itu melanjutkannya di dalam hati. “Akulah yang bersalah di masa muda itu. Akulah yang bersalah, sehingga terentang jurang yang dalam di antara kedua anak-anakku.”

Dan kata-kata itu selalu diulang-ulang. Selalu terucapkan didalam hatinya. Sehingga dengan demikian maka hati itupun terasa menjadi semakin pedih.

Ketika kemudian tangis perempuan itu mereda, dilepaskannya kepala anaknya. Perlahan-lahan perempuan itu berdiri. Alangkah hausnya. Serasa sudah berhari-hari ia tidak menenguk air.

Setelah menengguk air dari dalam kendi yang terletak digeledek kayu, maka perempuan itu pun berkata, “Aku akan menanak nasi, Bramanti.”

Bramanti mengangguk kaku. Jawabnya, “Sebaiknya ibu beristirahat meskipun hanya sejenak, untuk menentramkan perasaan ibu.”

“Aku tidak apa-apa.”

Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Dengan lesu ia menyeret kakinya keluar dari rumahnya, melintasi pendapa dan turun ke halaman. Dipandanginya kehijauan dedaunan yang selama ini dipeliharanya baik-baik. Pohon sawo yang sedang berbuah. Beberapa potong bambu anyaman dibawah pohon sawo itu. Kandang yang telah diberinya berdinding. Pagar batu, regol yang telah rapat dan atap rumahnya yang tidak berbahaya lagi. Keseluruhan rumahnya telah menjadi utuh lagi, meskipun belum berisi seperti masa hidup ayahnya.

Tiba-tiba ia menggelengkan kepalanya. Terbayang dikepalanya tangan-tangan yang halus sedang membersihkan regol rumahnya. Tangan Ratri. Tetapi apakah Ratri telah melakukan untuknya? Tidak untuk Panggiring.

Bramanti menggeram di dalam hatinya. “Tidak. Panggiring tidak akan pernah menyentuh halaman, regol dan apalagi rumah ini. Aku tidak akan memberikannya walaupun secuil tanah disudut yang paling jauh.”

Bramanti terperanjat ketika ia mendengar pintu regol itu bergerit. Ketika ia berpaling, dilihatnya sesosok tubuh menyelinap masuk. Temunggul.

“O, kau,” sapa Bramanti.

Temunggul menganggukkan kepalanya. Dengan ragu-ragu ia melangkah masuk, “Tidak ada seorang pun yang datang kemari?” bertanya Temunggul.

“Baru saja paman Tambi datang kemari.”

“O,” Temunggul mengangguk-anggukkan kepalanya. “Apakah ada sesuatu yang penting?”

Bramanti menggelengkan kepalanya, “Tidak. Tidak ada sesuatu apapun. Paman Tambi hanya singgah sebentar.”

Temunggul mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekilas terngiang pesan Ki Demang untuk membunuh anak muda itu. Dimana saja ada kesempatan. Di rumah, di sawah atau di manapun. Dengan demikian ia akan memiliki Ratri dan kesempatan yang baik.

“Tetapi Ratri acuh tak acuh kepadaku. Buat apa aku melakukan kegilaan itu apabila kelak justru Ratri akan mengutukku?”

“Marilah,” ajak Bramanti. Dan Temunggul yang bimbang itu tergagap.

Bramanti kemudian mengajak Temunggul duduk di bawah pohon sawo yang sedang berbuah, seperti kebiasaan mereka, apabila mereka tidak duduk di dalam kandang.

“Darimana kau Temunggul?” bertanya Bramanti.

Temunggul mengerutkan keningnya. Jawabnya, “Itu tidak penting, Bramanti.”

“Apakah kau membawa berita atau pesan atau ada yang lebih penting?”

Temunggul masih saja dicekam oleh keragu-raguan. Apakah bijaksana untuk mengatakan keseluruhannya dibumbui oleh prasangka yang belum dapat dibuktikannya atas Ki Demang.

“Kau tampak ragu-ragu,” tebak Bramanti.

“Ya, aku ragu-ragu,” jawab Temunggul. Namun kemudian ia mengambil keputusan untuk mengatakan sebagian saja dari apa yang menggelepar di dalam dadanya. Kalau ia mengatakan seluruhnya tentang Ki Demang ia khawatir apabila Bramanti segera bertindak. Dengan demikian maka ia tidak akan dapat melihat peran apakah yang sebenarnya dilakukan oleh Ki Demang.

Karena itu, maka Temunggul pun kemudian berkata, “Bramanti, aku mendengar keterangan, bahwa Panembahan Sekar Jagat sudah merasa perlu untuk bertindak.”

Bramanti mengerutkan keningnya. Dengan bersungguh-sungguh ia bertanya, “Dari siapa kau tahu?”

“Seseorang telah mengatakan kepadaku bahwa sehari dua hari ini, mereka akan datang. Terutama mereka ingin melepaskan sakit hati atas kekalahan Sapu Angin dan bahkan orang itu telah terbunuh pula.”

“Apakah kabar itu dapat dipercaya?”

“Aku menganggap bahwa kita harus meningkatkan kewaspadaan.”

“Ya, tetapi dari siapa kau mendengar?”

“Dari Ki Demang?.”

“Darimana ia tahu.”

“Itulah yang ingin aku ketahui. Tetapi biarlah kita tidak menghiraukannya. Mungkin yang dikatakan itu mengandung kebenaran, meskipun maksudnya bukan suatu pemberitahuan untuk bersiap menyambut kedatangan mereka.”

Bramanti semakin tidak mengerti. Karena itu ia bertanya pula, “Apakah sebenarnya yang dikatakan oleh Ki Demang?”

“Aku memang sedang mencari. Tetapi tentang Panembahan Sekar Jagat itu agaknya dapat kita percaya. Selebihnya aku belum dapat mengatakan sekarang. Meskipun aku sedang menduga bahwa perbuatan Ki Demang kurang menguntungkan. Mungkin ia dicengkam oleh ketakutan bahwa Kademangan ini benar-benar akan hancur atau kecemasan yang lain, sesuai dengan kepentingan pribadinya.”

“Supaya ia tetap menjadi seorang Demang, maksudmu?”

“Ya.”

“Bukankah tidak ada orang lain yang membayangkan jabatan itu sekarang?”

Temunggul menganggukkan kepalanya. Tetapi ia menjawab, “Meskipun demikian, ia harus berhati-hati.”

Bramanti mengangguk pula. “Tetapi apakah sebenarnya maksudnya dengan keterangannya itu?”

Temunggul menarik nafas. Ia harus menahan dulu untuk menyimpan sebagian dari persoalan yang masih akan dibuktikannya itu. Maka jawabnya, “Aku masih kabur menangkap sikap Ki Demang, Bramanti. Tetapi yang penting bagi kita, Panembahan Sekar Jagat dapat datang setiap saat.”

“Sudah tentu kita harus semakin berhati-hati.”

Dan tiba-tiba saja Temunggul berkata, “Dan justru pada saat Panggiring ada di Kademangan ini.”

“He,” Bramanti terkejut, “Darimana kau tahu?”

Temunggul pun terkejut pula. Tanpa disengaja kata-kata itu terloncat dari mulutnya, sehingga karena itu, sejenak ia terdiam. Namun dadanya telah berdebaran. Terngiang pesan Panjang kepadanya, “Jangan kau katakan kepada orang lain. Kau janji?” Dan ia sudah berjanji.

“Darimana kau dengar bahwa kakang Panggiring telah berada disini?”

Temunggul tidak dapat ingkar lagi. Jawabnya, “Tetapi bukan salah Panjang, Bramanti. Aku memang melihat kegelisahan padamu dalam saat-saat terakhir ini. Aku sudah mencoba bertanya kepada Ki Tambi, tetapi ia tidak dapat memberikan jawaban. Bahkan Ki Tambi sendiripun tampaknya seperti orang bingung,” Temunggul berhenti sejenak lalu, “Kemudian aku berusaha mendesak Panjang untuk bertanya kepadamu tentang hal itu. Mula-mula ia berkeberatan, tetapi karena aku selalu mendesaknya akhirnya ia mengatakannya. Agaknya kau digelisahkan oleh kehadiran Panggiring di Kademangan ini.”

Bramanti mendengar keterangan itu dengan hati berdebar-debar. Kepalanya tertunduk, namun nafasnya serasa menjadi semakin cepat mengalir.

“Ya,” desisnya kemudian. “Kakang Panggiring memang telah berada di Kademangan ini.”

“Nah, apakah kau tidak mencoba menghubungkan kehadirannya dengan keterangan tentang Panembahan Sekar Jagat itu?”

Bramanti tidak segera menjawab. Tetapi kegelisahan padanya serasa menjadi semakin memuncak. Dicobanya untuk menarik kesimpulan seperti yang dilakukan oleh Temunggul. Tetapi untuk mengurangi getar di dadanya sendiri ia beratnya di dalam hati, “Tidak. Bukan Panggiring.”

Namun ia tidak dapat ingkar. Kecemasan di dalam dadanya serasa menggelepar semakin tajam.

“Tetapi apabila demikian,” katanya di dalam hati. “Langkah pahitnya. Apakah aku benar-benar harus bertempur melawan kakang Panggiring? Seandainya aku tidak menaruh keberatan apapun, namun bagaimana dengan ibu? Bagaimana pun juga kakang Panggiring adalah anaknya. Kebinasaannya pasti akan meruntuhkan kepedihan yang tidak ada taranya. Meskipun kakang Panggiring tidak pernah berbakti sebagai seorang anak, namun ibu tidak akan dapat memutuskan ikatan yang ada di antara mereka.”

Dengan demikian maka sejenak kemudian keduanya terdiam. Tetapi tampak guratan-guratan yang dalam di kening mereka. Berbagai gambaran telah membayang di dalam angan-angan.

Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Terdengar ia berdesis lambat, “Memang hal itu mungkin terjadi.”

“Ya,” sahut Temunggul, “Kematian Sapu Angin telah menurunkan keberanian Panembahan Sekar Jagat serta anak buah. Kemudian Panggiring mencoba menempuh jalan lain. Sebagai seorang kakak ia akan menyusup di antara kita. Terutama di rumahmu.”

Bramanti mengerutkan keningnya. Katanya di dalam hati, “Kalau ia sampai hati berbuat demikian, apakah salahnya kalau aku tidak selalu dibayangi oleh keragu-raguan tentang dia.”

“Sudahlah Bramanti,” berkata Temunggul kemudian, “Aku hanya ingin memperingatkan kau supaya kau semakin hati-hati. Agaknya kaulah sasaran utama bagi Panembahan Sekar Jagat, karena kau telah membunuh Sapu Angin. Kemudian orang kedua adalah Ki Tambi yang telah membakar hati anak-anak muda Kademangan ini untuk melawan Panembahan Sekar Jagat.”

“Terima kasih Temunggul,” berkata Bramanti kemudian, “Aku akan sangat memperhatikan peringatanmu.”

“Mudah-mudahan kita dapat mengatasi setiap kesulitan. Panjagaan atas segala sudut Kademangan akan aku perkuat. Aku akan menganjurkan agar anak-anak muda yang meskipun tidak sedang bertugas dan tidak mempunyai keperluan lain, selalu berada di tempat-tempat yang dapat dihubungi. Di halaman Kademangan atau di gardu-gardu perondan. Mereka dapat tidur disana. Tetapi apabila sesuatu terjadi, tidak terlalu lama untuk mengumpulkan mereka.”

“Rencana yang bagus Temunggul. Kalau gardu-gardu tidak menampung, mereka dapat memilih rumah-rumah yang memungkinkan.”

“Ya. Aku masih mempunyai waktu setengah hari.”

“Lakukanlah.”

Temunggul pun kemudian minta diri. Setiap kali ia bertemu dengan anak-anak muda, apalagi para pengawal maka dianjurkannya anak-anak muda itu berkumpul dimanapun dimalam hari apabila mereka tidak sedang mempunyai keperluan pribadi yang mendesak.

“Untuk keselamatan kalian masing-masing dan untuk keselamatan Kademangan ini,” berkata Temunggul.

“Apakah keadaan menjadi semakin gawat?” bertanya seorang anak muda.

“Ya,” jawab Temunggul.

“Yang manakah yang menyebabkannya? Panembahan Sekar Jagat atau kehadiran Panggiring?”

“He,” Temunggul mengerutkan keningnya, “Apakah kau telah mendengar bahwa Panggiring ada di Kademangan ini?”

“Ya. Aku mendengar. Apakah kau belum? Tetapi ingat, jangan mengatakan kepada siapapun.”

 —–oSPo—–

Bersambung ke jilid 8

Diedit oleh Satpampelangi

kembali | lanjut

Tinggalkan komentar